Sebentar lagi hari Lebaran tiba.
Di televisi, koran-koran, radio-radio juga blog jurnalisme warga, sebagaimana telah berlangsung sepanjang tahun, ramai pemberitaan tentang manusia yang mudik.
Entah dari mana istilah mudik muncul. Ada yang bilang mudik sama dengan “kembali ke udik” alias kembali ke “ikatan-ikatan tradisional”.
Ada pula yang bilang mudik dari bahasa Jawa mulih dhisik atau pulang dulu. Apa pun mudik telah menjadi tradisi sekaligus, ini juga penting diperhatikan, menjadi sesuatu yang “politis”.
Mudik sebagai sesuatu “yang politis”?
Yang politis disini bukan sebatas pada musim jelang hari raya Idul Fitri, pemerintah akan disibukkan memperbaiki jalan dan memperbaiki moda transportasi.
Termasuk juga bukan sebatas sibuknya partai politik menyiapkan layanan transportasi gratis. Bukan sebatas ini.
Yang politis yang saya maksud adalah relasi kuasa dalam geliat kesadaran manusia ketika bersua yang tradisionalisme dengan modernisme.
Keduanya merujuk pada cara pandang hidup (way of life) yang terus hadir pada kondisi di masyarakat, keadaan sosial budaya dan ekonomi, atau “fase sejarah” masyarakat tertentu.
Jadi relasi kuasa maksudnya adalah sebuah aksi kesadaran yang menolak tunduk pada kaidah tertentu yang dipandang membahayakan eksistensi asali.
Galibnya yang merawat ritus adalah manusia yang memiliki ikatan dengan desa, kehidupan pedesaan.