Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru dalam "Guncangan Sistem Bank"?

1 Juli 2016   18:42 Diperbarui: 1 Juli 2016   19:15 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman SD dulu, dicubit guru itu hukuman kelas remeh . Cemen. Hukuman kecil. Tidak bermakna apa-apa. 

Saya sendiri zaman SD di Papua pernah dihajar pakai kabel kopling motor sampai biru dan harus demam. Gara-garanya adalah karena main bola di luar jam istirahat. Guru yang menghajar betis kecil saya dengan kabel kopling motor bukan orang jahat. Ia hanya tidak suka kami bermain di luar jamnya. Ia tidak benci kepada saya, sebaliknya saya tidak dendam kepadanya. Sesudah betis saya sehat, kami main bola bersama di halaman sekolah. Tentu saja sore hari di luar jam sekolah.

Zaman SMP, kenakalan karena main bola belum berlalu. Saya mengulangnya lagi. Kali ini betis yang sudah mulai ditumbuhi bulu dihajar mistar kayu seorang guru matematika yang juga wali kelas. Lumayan pedih. Tapi sesudah itu kembali ke kelas dan cekikikan, dasar badung. Saya tidak melawan atau melaporkan. Guru matematika itu juga teman ibu saya yang guru. Mengadu sama juga mencari masalah. Karena ibu saya pasti percaya teman gurunya dibanding saya.

Zaman SMP ada masalah yang lebih parah. Ketika itu kelas fisika. Guru kami berhalangan mengajar dan memberi tugas. Kami harus mengerjakan itu hingga jam pelajaran berakhir. Dasar gerombolan badung, begitu sang guru meninggalkan ruang kelas, kami semua berlarian ke halaman, main sepakbola. 

Besoknya kami sekitar lima belas orang dibaris di halaman upacara, dijemur dan dihajar betisnya. Ada yang bahkan ditampar saking kesalnya guru karena sudah dihukum masih cengengesan. Apakah kami dendam? Tidak. Malah ketawa cekikikan sesudah hukuman selesai ditanggung.

Tak ada dendam, tak ada pengaduan, Tak ada masalah hukum. Oia, ayah dan ibu saya guru. Sangat keras dalam mendidik. Apalagi kepada anaknya sendiri. Kalau sekedar "buku meledak" di kepala, sudah kebal. Hehehe.

Zaman itu hukuman guru jelas berlebihan jika dipandang dari ukuran sekarang. Apalagi jika bicara UU Perlindungan Anak, negara sekarang lebih protektif. Bahkan ada pendapat yang mengatakan guru zaman itu adalah didikan Belanda, mereka keras tapi murid-muridnya sukses. Saya kurang tahu sampai dimana benar tidaknya didikan Belanda ini. Walau keras, zaman itu jarang terdengar kasus orangtua mengadukan guru karena anaknya dihajar mistar kayu di betis. 

Zaman telah berubah dan "ukuran-ukuran kepantasan hukuman" guru kepada murid juga bergeser. Di sisi lainnya, anak-anak sekarang juga bukan tidak "dalam bahaya". Ada guru yang terlihat santun dan manis, ternyata pedofil kambuhan.  Serba salah, dilema. Yang jelas, keduanya harus diletakkan pada martabat yang seharusnya. 

Guru adalah jalan pengetahuan, murid adalah penerus pengetahuan. Inilah martabat mereka.

Lantas, apa yang bisa diasumsikan--sekali lagi diasumsikan-- sedang terjadi dengan sistem pengajaran hari ini? 

Dampak Sistem Bank?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun