Ketika mulai asik membaca, seorang pramugari datang menghampir bangku di depan kami. Ia meminta seorang penumpang segera mematikan gadgetnya. Tak lama berselang informasi yang sama disampaikan pramugari yang lain lewat pengeras suara.
Saya memeriksa gadget, aktif tapi dalam settingan pesawat. Artinya jaringan tidak bekerja. Aman, saya menaati prosedur keselamatan penerbangan. Pemuda “kepala tempurung” juga terlihat melepas headset. Yang disebelah kanan saya, dia juga mengeluarkan gadget. Mantaplah, semua taat prosedur. Jujur saja saya sering merasa aneh dengan kebiasaan penumpang yang sudah diingatkan untuk matikan perangkat komunikasi tapi masih saja menelpon di dalam pesawat menjelang take off.
Pesawat lalu mengangkasa. Saya pelan-pelan berusaha terbenam dalam kisah keluarga Gomez yang hidup dalam satu ruang dengan berhimpit sehingga bau keringat, bau kaki belum dicuci dan bau gorengan menyatu setiap malam. Sekitar pukul tiga sore pesawat baru akan mendarat di Soekarno-Hatta, Cengkareng.
Saya ternyata tidak bisa fokus membaca. Sembari membaca kisah Gomez, mata saya malah jelalatan ke kantung yang terletak di belakang kursi. Ada koran dan Lion Magazine. Saya melipat ujung kertas dari kisah Gomez lalu mengambil koran. Membaca beberapa halaman berita, saya terus jenuh. Kisah Gomez tidak saya lanjutkan. Menerawang.
Allahu Akbar, Allahu Akbar...
Tetiba terdengar suara adzan berkumandang. Sudah jam tiga sore. Tapi suara adzan dari mana?
Pemuda yang berpotongan ala militer kemudian mengeluarkan Samsungnya pelan-pelan. Melihat sebentar layarnya, memasukkan kembali ke kantung jaket dan menutup dengan telapak tangannya. Ia seperti hendak meredam suara adzan. Ya Allah, dia tidak mematikan gadgetnya. Mungkin karena itu dia berusaha meredam agar tidak terdengar pramugari.
Ah, ada-ada saja bentuk ketidaktaatan di pesawat. Syukurlah sebentar lagi sudah mendarat.
***
Pesawat Lion dengan nomor penerbangan JT 086 akhirnya parkir dengan sempurna. Melalui pintu depan para penumpang di kursi bagian depan sudah mulai keluar. Pemuda berpotongan militer pun sudah berjalan menuju pintu keluar. Pemuda dengan potongan ala tempurung kini sudah duduk di kursi bekas di pemuda potongan militer.
Ah, anak ini dua kali dia mendahului, batin saya.