Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gu Mi-ho; Dialog Legenda dengan Modernitas

25 Juni 2016   16:22 Diperbarui: 26 Juni 2016   09:32 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesudah tenggelam oleh pesona City Hunter yang ditafsir dari manga Jepang berjudul sama, kali ini saya membuka kesadaran juga preferensi selera untuk tenggelam dalam Drama Korea berjudul My Friend is a Gu Mi-ho

Para pecandu drama korea pastilah sudah selesai dengan serial 16 episode yang mulai tayang 11 Agustus 2010 hingga 30 September 2010. Karena itu, saya tidak akan menulis sinopsisnya lagi.

Berbeda dengan City Hunter yang bersetting urban dimana inti plotnya digerakkan konflik dan dendam politik berbungkus romantika anak muda, Gu Mi-ho adalah tafsir atas legenda yang dibaluti oleh romantika anak muda. 

Sependek penelusuran lewat mesin google, Gu Mi-ho merupakan kisah siluman rubah (fox) yang hidup di tiga wilayah kebudayaan yakni Tiongkok (huli jing), Jepang (katsuni),  dan Korea. Di tiga lokasi yang memiliki masa lalu ikatan budaya, Gu Mi-ho memiliki versi narasi berbeda-beda. Penjelasan tentang ini bisa dibaca di sini.

Kilas Cerita

Gu Mi-ho dalam versi drama Korea yang tayang tahun 2010 itu berkisah siluman rubah berekor sembilan yang mencari cinta sejatinya. Sebab di dikutuk, dia terpenjara dalam lukisan hingga kemudian dibebaskan oleh seorang pemuda secara tidak sengaja. Tentu saja si Gu Mi-ho adalah perempuan cantik lagi manja namun diceritakan sebagai perempuan yang menjebak laki-laki untuk dimakan hatinya.

Gu Mi-ho bersama pemuda yang membebaskannya dari penjara lukisan kemudian menjalani hari-hari yang berat sebagai manusia. Ia harus menginternalisasi—memasukkan kesadarannya dengan nilai, norma, dan pengetahuan produk budaya manusia—agar dapat beradaptasi. 

Tak cukup sampai di sini, ia kemudian berhendak menjadi manusia selamanya. Salah seorang dokter yang juga siluman kemudian membantunya mengikuti “prosedur saintifik” untuk mencapai impian tersebut. 

Prosedur ini tidak sepenuhnya berhasil, ia tetaplah seorang Gu Mi-ho dengan satu ekor. Selama periode adaptasi juga menjalani “prosedur saintifik” menjadi manusia, hubungan Gu Mi-ho dengan si pemuda sang pembebas mengalami pasang surut.

Jika Anda tipe penonton yang lekas terbawa dalam pasang surut hubungan bisa dipastikan emosi akan sesak napas serasa sedang dalam dokar yang sedang melintasi pemandangan alam eksotis namun sepanjang jalan penuh lubang. 

Terlebih, sebagaimana lazimnya drama Korea, si gu Mi-ho tentu saja manis jelita dengan struktur psikis yang sesekali kelihatan rapuh namun tiba-tiba bisa setegar karang manakala sudah berkeputusan. Diih, benar-benar bikin guemeeess.

Saya melihat Gu Mi-ho versi drama Korea adalah sebuah tafsir atas legenda yang menarik dipelajari. Khususnya oleh para pegiat produksi sinetron. Walau memiliki pesan yang klise bahwa dengan cinta yang tangguh semua penderitaan akan berakhir bahagia, Gu Mi-ho tidak terjatuh pada dramatisasi kisah yang mitologis atau romantika yang lekas-lekas happy ending.

Antara Mitologi dan Sosiologi

Jika memang begitu, apa ukuran yang bisa dijadikan alat menilai kalau Gu Mi-ho memang tidak mendramatisasi mitologi dan juga tidak lekas-lekas happy ending?

Dalam ingatan saya, paling kurang ada dua segi penting dimana drama korea yang satu ini mencoba berdiri diantara mitologi dan sosiologi. Dua segi yang sudah saya singgung di atas. Berikut penggambaran yang lebih detilnya.

Pertama, plot tentang adaptasi sosial (sosiologi). Sebagai makhluk dari alam lain, Gu Mi-ho ibarat bayi. Ia harus belajar untuk memahami makna-makna dan terbiasa dengan benda-benda produk budaya  manusia. 

Dalam proses ini, kalau menggunakan penjelasan Durkheimian, ia mengalami “proses pemanusiaan” secara bertahap hingga susunan cara berpikir, merasa dan bertindak menjadi sama dengan manusia kebanyakan. 

Atau dalam bahasa sosiologi interpretatif, ia mengalami pembentukan struktur typifikasi dan pembentukan pengetahuan resep (pengetahuan yang menuntun manusia dalam aktifitas sehari-harinya). Sehingga bisa dikatakan, secara sosio-kultural, Gu Mi-ho sudah menjadi manusia.

Proses adaptasi sosiologis ini kemudian membentuk struktur kepribadian Gu Mi-ho yang baru. Ia akhirnya menjadi manusia mandiri dalam batas tertentu. Karakter makhluk jadi-jadian berangsur-angsur terdekonstruksi.

Kedua, elemen mitologi, seperti kekuatan kristal energi juga daya ubah diri dalam tubuh Gu Mi-ho tidak ditampilkan dengan dominan. Bahkan elemen mitologi ini berusaha dieliminasi dengan “prosedur saintifik” ketika si Gu Mi-ho berkehendak menjadi manusia paripurna. Prosedur yang meminta disiplin dan ketabahan melewati eksperimen juga waktu yang melelahkan.

Sebisa yang saya perhatikan, selain prosedur saintifik, elemen mitologi ini juga berusaha dikekang “daya pukaunya” oleh konflik-konflik dalam pasang surut hubungan antara Gu Mi-ho, si pemuda pembebas dan dokter yang menangani eksperimen menjadi manusia. 

Ada perang pengaruh yang tumbuh diam-diam bersama rasa cemburu dan takut kehilangan pada diri pemuda karena kehadiran si dokter yang ternyata datang dari masa lampau ratusan tahun. Dokter yang menyimpan “narasi luka” karena membunuh kekasihnya yang secara fisik bagai pinang dibelah dua dengan Gu Mi-ho.

Dari dua penglihatan ini, Gu Mi-ho menjadi terbaca sebagai sebentuk tafsir ulang legenda yang menarik. Secara spesifik, usaha kesukseskan mendialogkan mitologi dengan sosiologi adalah juga kesuksesan mendialogkan legenda dengan eksitensi modernitas. 

Sebuah proses dialog yang lembut dimana sangat terbantukan oleh akting para pemain yang maksimal mantap. Apalagi akting pemeran Gu Mi-ho, duhaai.

Barangkali ini yang membuatnya berkarakter. Berbeda dengan cara mendialogkan legenda dengan modernitas pada sinetron Indonesia di mana, rasanya, masih diajak menyaksikan pertunjukan masa lalu. 

Pertunjukan masa lalu yang justru dalam penafsiran kekinian malah mengalami pengerdilan makna. Karena itu juga membuat lekas bosan sekali pun sudah dijejali aktris yang bening-bening lagi muda segar.

Selain cara menafsir dan mendialogkan yang berbeda, kerangka besar yang juga jangan diabaikan adalah industri drama korea memiliki kepentingan untuk menguasai selera pasar industri tontonan Asia. 

Drama Korea secara sengaja (by design) tidak dibuat untuk kebutuhan tontonan di dalam rumah atau sekedar melayani selera di wilayah kebudayaan yang dekat. Dengan kata lain, secara sengaja mengolonisasi selera Asia. 

Usaha menguasai selera pasar Asia inilah yang sepertinya menjadi salah satu “standar juga aturan main” para pegiat drama Korea tidak mendaurulang cerita legenda seperti cara tafsir siluman Ular Putih yang pernah jaya di RCTI. 

Saya merasakan perbedaan suasana psikis yang sangat kontras dimana saat menyaksikan siluman Ular Putih, pikiran mendadak tua sekali plus terlibat pada jalan cerita yang “jauh dari kemungkinan tafsir yang masuk akal”. Berbeda dengan Gu Mi-ho yang berhasil memberi tafsir yang lebih masuk akal, urban minded, dan tentu saja segar dan bening.  

Sudah ah, segini dulu. Saran saya jangan nonton drama Korea dalam kondisi batin galau! 

Selamat menanti berbuka puasa.    

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun