Dari dua penglihatan ini, Gu Mi-ho menjadi terbaca sebagai sebentuk tafsir ulang legenda yang menarik. Secara spesifik, usaha kesukseskan mendialogkan mitologi dengan sosiologi adalah juga kesuksesan mendialogkan legenda dengan eksitensi modernitas.
Sebuah proses dialog yang lembut dimana sangat terbantukan oleh akting para pemain yang maksimal mantap. Apalagi akting pemeran Gu Mi-ho, duhaai.
Barangkali ini yang membuatnya berkarakter. Berbeda dengan cara mendialogkan legenda dengan modernitas pada sinetron Indonesia di mana, rasanya, masih diajak menyaksikan pertunjukan masa lalu.
Pertunjukan masa lalu yang justru dalam penafsiran kekinian malah mengalami pengerdilan makna. Karena itu juga membuat lekas bosan sekali pun sudah dijejali aktris yang bening-bening lagi muda segar.
Selain cara menafsir dan mendialogkan yang berbeda, kerangka besar yang juga jangan diabaikan adalah industri drama korea memiliki kepentingan untuk menguasai selera pasar industri tontonan Asia.
Drama Korea secara sengaja (by design) tidak dibuat untuk kebutuhan tontonan di dalam rumah atau sekedar melayani selera di wilayah kebudayaan yang dekat. Dengan kata lain, secara sengaja mengolonisasi selera Asia.
Usaha menguasai selera pasar Asia inilah yang sepertinya menjadi salah satu “standar juga aturan main” para pegiat drama Korea tidak mendaurulang cerita legenda seperti cara tafsir siluman Ular Putih yang pernah jaya di RCTI.
Saya merasakan perbedaan suasana psikis yang sangat kontras dimana saat menyaksikan siluman Ular Putih, pikiran mendadak tua sekali plus terlibat pada jalan cerita yang “jauh dari kemungkinan tafsir yang masuk akal”. Berbeda dengan Gu Mi-ho yang berhasil memberi tafsir yang lebih masuk akal, urban minded, dan tentu saja segar dan bening.
Sudah ah, segini dulu. Saran saya jangan nonton drama Korea dalam kondisi batin galau!
Selamat menanti berbuka puasa.
***