Sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang bermanfaat. Sebaik-baiknya sharing and connecting adalah membaca buku yang ditulisbagikan hasil bacaannya. Bisa begitu gak ya? Kalau bisa, oke lanjut.
Barisan kata-paragraf selanjutnya di bawah ini bukanlah resensi atau kritik terhadap buku. Apalagi sejenis “meta-teori”. Sungguh-sungguh ini hanyalah sedikit cerita tentang karya, sedikit kesaksian atas pembacaan.
Ini tentang sebuah buku yang lahir dari tradisi antropologi. Buku yang ketika pertama kali diterbitkan, S Aji masihlah ruh yang belum diamanahkan Tuhan menjalani tugas sebagai manusia fana di bumi yang sementara. Buku yang dalam bahasa asalnya berjudul Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (Basic Books). Terbit tahun 1959 oleh antropolog berkewarganegaraan Amerika Serikat, Oscar Lewis.
Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2001 oleh penerbit Yayasan Obor Indonesia. Lalu hadir lagi cetakan kedua pada tahun 2016 dengan judul Kisah Lima Keluarga: Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan. Saya kurang tahu jika sebelum ini sudah ada penerbit yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Yang jelas, dari ucapan terimakasih penulisnya, buku ini lahir dari studi etnografis yang memakan waktu sekitar 10 tahun yakni dari tahun 1948 hingga 1958. Studi yang juga menandai pergeseran lapangan penelitian antropologi dari fokus pada masyarakat primitif kepada petani dan masyarakat (miskin) perkotaan.
Sebagaimana judulnya, buku ini menceritakan situasi hidup sehari-hari lima keluarga Meksiko. Kelima keluarga itu adalah keluarga Martinez, Gomez, Gutierrez, Sanchez, dan Castro. Ada sekitar 422 halaman yang harus dihabiskan jika ingin menikmati pelukisan mendalam Oscar Lewis atas kebudayaan kemiskinan (Culture of Poverty) keluarga Meksiko.
Saya sendiri baru membaca keluarga pertama, Martinez. Sang kepala keluarga bernama Pedro dan istrinya bernama Esperanza, nama-nama yang mengingatkan kita tentang telenovela yang pernah jaya di stasiun tv tanah air sekitar tahun 1990an. Pedro mewakili tipe kepala keluarga yang otoriter dan berkuasa, sedangkan Esperanza, perempuan sederhana dan patuh. Saking miskinnya keluarga ini, untuk menyalakan tungku, Esperanza menolak menggunakan korek api yang masih merupakan barang mewah saat itu. Esperanza memilih mengipasi arang yang mengendapkan bara sepanjang malam.
Kehebatan Oscar Lewis, hemat saya, adalah ia menuliskan aktifitas pembagian kerja anggota keluarga laki-laki dan perempuan dalam rumah keluarga Martinez secara detail. Apa yang dilakukan Esperanza dan anak perempuannya sepanjang hari juga anak laki-laki mereka yang pergi bekerja di ladang mengikuti ayah mereka hingga senja memanggil pulang tergambar begitu hidup. Pelukisan pembagian kerja ini dibaluti oleh pelukisan lingkungan tempat tinggal mereka dengan detail pula. Sehingga yang terbaca adalah pelukisan mendalam yang bolak balik antara kehidupan dalam rumah (domestik) dan kehidupan di luar (publik) dalam lansekap besar kebudayaan kemiskinan manusia Meksiko.
Tidak berhenti di situ, Oscar Lewis juga melukiskan emosi-emosi yang muncul dari hubungan anggota keluarga, konflik-konflik Pedro dengan anak perempuan juga anak lelakinya. Termasuk kecemasan Esperanza ketika menyiapkan makanan untuk keluarga besar yang hidup di ruang sempit. Asiknya lagi, tidak ada evaluasi moral atau kritik terhadap kemiskinan yang termuat dalam pelukisan keluarga Meksiko ini. Sehingga kenikmatan membaca tidak berhenti sejenak karena harus mencari penjelasan pada kritik-kritik teori pembangunan.
Saya juga merasakan bahasa yang digunakan oleh Oscar Lewis, sejauh membaca hasil terjemahannya, relatif lebih mudah menuntun pikiran dan perasaan. Kenikmatan yang sama tidak saya langsung temukan ketika pertama kali membaca buku antropolog Clifford Geertz--nama yang harus ditulis hati-hati karena letak huruf z dan t yang tidak boleh tertukar demi tidak ditegur kali kedua oleh Pakde Ahmad Jayakardi, he he he-- tentang Involusi Pertanian, misalnya. Bisa jadi karena daya tangkap saya masih terlalu sederhana. Sesederhana kerinduan kepada kemunculan kembali Vonny Cornelia..[lhooo!! #GagalPindahIdola]
Yang jelas, Oscar Lewis menulis laporan penelitian lapangannya seperti sebuah cerpen yang sangat detail dan mendalam lagi hidup. Saya merasa ada di dalam cerita, mengalami emosi yang diaduk-aduk, terenyuh dan setengah tidak percaya ada potret keluarga seperti rumah tangga Martinez.
Ternyata kesan bahwa pelukisan lima keluarga dalam kebudayaan kemiskinan Meksiko seperti membaca karya sastra juga diakui oleh Parsudi Suparlan. Antropolog Indonesia yang ikut memberi kata pengantar. Begini kata Parsudi Suparlan yang pertama kali membaca buku ini tahun 1967:
...tulisan-tulisan Oscar Lewis memperlihatkan kemampuannya dalam menggambarkan kehidupan masyarakat yang ditulisnya sehingga tampak dekat sekali dan seolah-olah hidup dalam imaji para pembacanya. Dia mampu mengungkapkan perasaan-perasaan, emosi-emosi, dan dan imaji-imaji para pelakunya sebagai sesuatu yang benar-benar hidup sehingga pembacanya merasa terlibat di dalam adegan-adegan peristiwa-peristiwa. Tulisan-tulisannya tidak hanya bermutu secara teknis ilmiah antropologi, tetapi juga sebagai karya sastra yang enak dibaca...(hal xix)
Masih penasaran dengan kesan yang saya rasakan secara subyektif bahwa membaca Lima Keluarga seperti sedang membaca cerpen yang detail lagi dalam, saya membaca pengantar yang ditulis sendiri oleh Oscar Lewis. Pada halaman delapan, antropolog yang meninggal tahun 1970 ini katakan:
Telaahan tentang hari-hari yang disajikan di sini berusaha memberikan kesiapan dan kehidupan yang digambarkan oleh seorang pengarang novel. Meskipun demikian, keikatannya yang utama ialah kepada ilmu sosial dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Setiap kemiripan antara potret-potret keluarga ini dengan fiksi adalah kebetulan belaka.
Oscar Lewis lantas menyebut karya tentang potret lima keluarga miskin ini sebagai “realisme etnografis”. Barangkali ini dia maksudkan untuk membedakan dengan “realisme sosial” yang merupakan salah satu aliran dalam bersusastra. Entahlah.
Setibanya di sini, saya merasakan karya Lima Keluarga Meksiko boleh menjadi bacaan rujukan (referensi) sekaligus acuan teknis (cara menulis) dalam menyusun cerpen atau novel. Tentu saja para Fiksianer tidak perlu mengambil sekolah khusus antropologi atau melakukan riset hingga 10 tahun untuk tiba pada pelahiran karya yang nikmat luar biasa seperti Oscar Lewis. Sebatas yang saya lihat, dalam konteks berolah sastra, Lima Keluarga Miskin Meksiko ini sepertinya dapat menjadi “panduan” bagaimana membangun karakter tokoh, alur (plot), konflik, dan teknik menutup cerita tanpa terbebani acuan moral yang bikin berat. Akan lebih "nendang" bila diperkuat oleh sedikit riset kecil.
Sebegitu dulu kesaksian bacaan saya atas Lima Keluarga Miskin Meksiko buah penelitian etnografis Oscar Lewis. Di luar langit mulai mendung, mau ngangkat jemuran dulu. Selain juga masih ada empat keluarga yang belum saya masuki dapur dan kamar tidur mereka yang sesak lagi miskin di vecindad. Terimakasih Mbah Oscar Lewis!
Salam Ramadan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H