Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kritik Diri di Hari Bumi

22 April 2016   23:55 Diperbarui: 23 April 2016   09:47 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah konsumsi bisa menunjukkan keserakahan manusia?

Tentu saja bisa. Serakah pada hakikatnya adalah ingin mendapatkan apa saja dengan cara apa saja tanpa hirau batas-batas. Manusia yang menghabiskan nilai guna atau citra (imej) sebuah benda atau gaya hingga lupa diri pada dasarnya adalah keserakahan yang sejenis. 

Dalam kaitan dengan konsumsi, serakah merupakan bentuk terbalik dari kerja yang melepaskan diri dari secukup pemenuhan kebutuhan.  Penjelasan ini bukan persis dari Bell, dari saya sendiri.

Nah, peringatan Gandhi akan keserakahan dan pertentangan nilai kerja versus hedonisme yang ditunjukan Bell ini kiranya boleh juga dikenang-kenangkan di Hari Bumi, 22 April. Intinya pangkal kerusakan bumi tidak ada lain, tidak bukan: aku, kamu, kita semua. 

Hewan dan tumbuhan tidak mengenal konsep serakah dalam instingnya. Sengaja atau tidak, sadar atau lupa, serakah atau serakah sekali, manusia lah pangkal masalahnya. Baik di Utara, Selatan, Timur, dan Barat, manusia lah yang merawat kerusakan dalam pemuasan keserakahan yang sakit.

Sungguhkah? 

Marilah kembali melihat diri kita paling dalam sembari bertanya sungguhkah mencintai bumi?

Jangan-jangan semburat kecintaan saya kepada bumi karena di era sekarang bumi sudah tidak lagi semanis dulu. Sekarang ini bencana sering sekali terjadi dimana-mana. Bumi mudah sekali marah dan saya terus saja membuat kesalahan.

Dari suasana begini kemudian timbul kecintaan kepada bumi yang sejatinya karena saya cemas, ketakutan lalu merengek-rengek minta kasihan. Please Bumi, jangan dulu tsunami, saya masih ingin menunggu Maudy Ayunda jatuh hati, jangan dulu menghancurkan saya...hiikss..hiikss..padahal masih ada jejak Mikha Tambayong di loker yang berdebu. #Eheem, kepalamu!!

Pertanyaan besarnya adalah cinta yang produktif kepada bumi bisakah boleh tumbuh bersama ketakutan karena kesalahan yang diulang-ulang? Sehingga ketika ada momentum peringatan, saya mendadak enviromentalist, ekologisis, dan is, is, is lainnya.

Sehingga ketika ada banjir, saya mendadak jadi pembuang sampah yang tertib. Terus apa bedanya saya dengan abegong yang sibuk meruwat hatinya demi berpinky-pinky love di malam pesta Sweet Seventeen?  Inikan namanya kamuflase, palsu, semu. Belagu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun