Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kritik Diri di Hari Bumi

22 April 2016   23:55 Diperbarui: 23 April 2016   09:47 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Bumi. Sumber: disconnectedsalon.com"][/caption]Alam raya diciptakan berjalan dengan fungsinya masing-masing. Tak terkecuali bumi dengan segala penghuninya. Manusia memiliki fungsi, hewan juga tumbuhan. Bahkan apa yang tampak seperti benda mati juga memiliki fungsi.

Pada manusia, yang disebut fungsi seringkali adalah juga kewajiban, sesuatu yang memiliki dasar moral atau etis tertentu dalam pelaksanaannya. Berbeda dengan tumbuhan juga hewan yang telah hidup menurut ketetapan fungsionalnya yang baku, sudah dari sononye. Tak jarang untuk memahami fungsinya, manusia harus belajar sedang hewan dan tumbuhan tinggal mengikuti. 

Ketika fungsi-fungsi ini tidak berjalan sebagaimana harusnya atau menjadi tumpang tindih karena kelakuan manusia, bersiaplah menanti datangnya bencana. Bumi akan baik-baik saja kalau manusia tahu fungsi-fungsinya dalam keseimbangan semesta, bukan?

Barangkali karena lupa fungsinya jugalah membuat Gandhi harus berkata bumi sebenarnya mampu saja menampung kebutuhan manusia tapi tidak keserakahannya. Peringatan dari peletak ajaran Ahimsa yang dikembangkan Gene Sharp, dan kemudian disebut-sebut menginspirasi penjatuhan rezim milter di Timur Tengah belum lama ini, selalu relevan.  

Apalagi jika kita melihat dinamika industrialisasi (budaya) yang kini juga melahirkan konsumerisme. Dari para kritikus budaya, sudah lama kita dikasih tahu jika konsumerisme adalah cara menjalani (gaya) hidup yang bersemarak dalam pemudaran batas antara kebutuhan dan keinginan.

Dengan berpijak pada peringatan Gandhi, bisa jadi untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran karena kelebihan beban menampung keserakahan manusia adalah dengan mengendalikan syahwat konsumsi pada tingkat individual. Misalnya saja dengan menaati prinsip makanlah demi tubuhmu yang butuh, bukan saja dari kerjamu yang benar alias halal. Cocok tak?

Kalau cocok, bukan berarti tulisan ini ditutup. Sekarang jelang pukul 00.00 WIB, konon kalau tengah malam, biasanya mudah masuknya. Karena itu mungkin kita perlu sedikit melihat lagi hubungan manusia, kerja dan konsumsi. 

Pergeseran Makna Kerja-Konsumi dalam Keserakahan

Kerja benar untuk memperoleh upah atau hasil adalah hal yang prinsip. Bukan saja dalam ajaran agama, filsafat pun menekankan hal yang sama. Kerja merupakan bentuk dari realisasi hakikat manusia yang memiliki akal, nurani dan kehendak yang diberikan Pencipta. 

Manusia juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, kebutuhan masyarakatnya. Karena itu kerja sangat menentukan keberlangsungan adanya manusia, bukan?

Akan tetapi bagaimana dengan kerja benar dalam memproduksi hasil yang banyak (misalnya uang) lalu digunakan untuk melayani syahwat konsumsi sebagaimana marak dalam hidup masyarakat mutakhir?  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun