Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Tetap Slow" dalam Gaduh Politik

20 April 2016   09:04 Diperbarui: 20 April 2016   12:08 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam kontroversi, polemik adalah niscaya. Demokrasi membutuhkan keduanya.

Alam hidup demokrasi yang dijaga dalam kebebasan gagasan membutuhkan kontroversi agar ia memiliki sebanyak mungkin alternatif gagasan atau sudut pandang yang dibutuhkan untuk menyusun pengertian baru atau merangsang munculnya tindakan yang sesuai. Pendek kata, demokrasi akan makin tangguh jika dirawat oleh dinamika gagasan yang “bertengkar” secara sehat ketimbang sikap diam atau masa bodoh yang justru menyembunyikan ledakan petaka di kemudian hari.

Kalau bertengkar sakit, gimana? Maka diam adalah emas.

Di Kompasiana, khusus pada (kompetisi elit) politik, kebijakan, korupsi, dkk-nya, lekas sekali menyeret keriuhan polemik. Kelihatan sepintas wajar saja. Karena kalau di lihat secara umum kondisi mudah riuh yang makin otomatis di era digital sudah meluas dimana-mana bukan sebatas politik. Gegara perluasan seperti ini, sampai ada yang bilang sepertinya semua orang boleh menjadi komentator atas peristiwa apa pun tanpa perlu memahami terlebih dahulu. Sekali lagi, ini bukan khas Kompasiana lho ya, ini khas era digital.

Juga gegara kondisi seperti ini ada yang bilang di era internet, manusia seperti dilahirkan dengan jempol duluan bukan kepala. Atau, di era sekarang, manusia berjalan dengan kepala di selangkangan. Maksudnya terlalu mudah melayani syahwat berpolemik atau sekedar meruwat sensasinya. Bahkan ada yang sampai serius sekali, seperti Frederic Jameson, yang mengatakan era digital sudah menjadi era yang tanpa “pusat, tanpa moral, tanpa nabi” alias menawarkan "anarki dan peniruan" dimana-mana.

Pada ramai-ramai Ahok, Pilgub DKI, Reklamasi dan Sumber Waras kita melihat keriuhan ini muncul. Bahkan sudah ada tanda-tanda menjadi saling serang sesama penulis dan bukan lagi fokus pada gagasan melainkan melenceng menuruti kemana “energi menghabisi” membawa. Hingga yang ada hanyalah adu benar masing-masing.

Dari lubuk hati paling dalam, ada rasa sayang juga rasa lucu yang mendayu-dayu melihat situasi seperti ini. Puncaknya kemudian melahirkan tanya sederhana: ramai-ramai hingga saling serang yang membawa “energi menghabisi” ini sejujurnya sedang membela apa sih? Termasuk jadi bertanya: kalau bukan Ahok dan bukan Jakarta, apakah masih adu energi setiap hari?

Juga tumbuh pertanyaan: jangan-jangan yang diadu-adu energinya di Kompasiana tidak lebih dari pertengkaran jenis catatan kaki. Apalagi jika (melulu) bersandar pada reproduksi berita langsung dari media arus utama? Dengan maksud lain yang sedang ditengkar-adukan soal Ahok,dll-nya tidak menceritakan hal-hal baru. Mending baca berita. Lah, terus energinya diadu untuk apaah?

Hup..hup..minum air dulu bro.

Di luar panggung tarung energi itu, beberapa suara di Kompasiana memandang gelombang keriuhannya sebagai perayaan kebisingan (noise) ketimbang “pertarungan ide dalam skema pasar bebas gagasan” (voice). Karenanya juga keriuhan yang bising begini mudah jatuh ke dalam ketiadaan makna alias sesuatu yang dangkal; sejenis perayaan siklus kedangkalan!! (Weew, sinis bingiits).

Kalau saya sendiri sih terserah saja, opsinya terbuka dalam situasi tarung energi karena fulitik. Mau ikut berjibaku atau menarik diri jauh-jauh, okeh. Urusan masing-masing toh di Kompasiana rubriknya bermacam-macam.

Muak dengan kelahi politik yang begitu-begitu melulu, pindah baca puisi yang mendayu-dayu. Bosan dengan puisi mendayu lebay, pindah saja baca isu-isu kesehatan mutakhir biar tetap waras. Jenuh dengan kabar kesehatan yang makin mahal, pindah saja ke isu-isu teknologi, barangkali ada yang menulis kalau ramai-ramai politik yang dangkal sebenarnya adalah bentuk tersembunyi teknologisasi politik dari kepentingan besar yang tidak terpantau...eeeh..ke politik lagi...

Intinya kita yang memilih menjadi prosumen atau tidak, simple. Piye jal? Kira-kira setuju?

Siip. Eh, sebentar coi, sebelum menutup ini barang saya teringat satu hal. Diingatkan sama Om Ignas Kleden. Katanya begini.

Ada beda mendasar antara diskusi dan ngobrol. Diskusi adalah mengerjakan gagasan. Artinya gagasanmu dan gagasanku dipertarungkan untuk menyusun gagasan baru. Sementara ngobrol adalah bermain dengan gagasan, kau memainkan idemu, aku memainkan ideku, maka kita tidak tiba pada ide yang baru. 

Rasanya akan bagus sekali jika didepan kontroversi politik, yang dilakukan adalah mengerjakan gagasan bersama dari bermacam sudut pandang. Jadi yang dilahirkan adalah gagasan bersama yang berdiri di posisi warga bukan posisi terbelah sebagai pendukung atau penelikung. Kalau pun gagal bersenggama gagasan, yah paling tidak kita tahu sisi yang tidak membolehkan saat ini bersetubuh ide. Ide, bukan perasaan. Hmmm, tapi rasanya naif ya berharap kayak begini.

Atau kalau tidak memungkinkan, ngobrol aja deh, main-main sama gagasan. Bermain gagasan itu sah-sah saja kok, yang bina-sah tuh memainkan perasaan. Jadi mari kita ngalor ngidul kesana kemari, putar kanan, putar kiri hingga pusing beramai-ramai di depan politik. Sebagai kode etiknya, karena ini prinsipnya bermain-main, maka bila ada yang pusingnya sampai memuntahkan hatinya sendiri jangan lekas-lekas menuduh kena santet. Oke? Cateet!!

Pendek kata, tetap slow coi. Kecuali kita memang tim sukses. 

Mandi ah, selamat pagi. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun