Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Selamat Datang Conte!

5 April 2016   19:57 Diperbarui: 5 April 2016   20:11 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Maaf jika tulisan ini terbaca awam dan abal-abal. Hanya karena kecintaan kepada para legenda Juventuslah yang memaksa saya nekad menulis. 

Selama ini saya adalah Juventini dan selalu akan begitu. Selamanya akan begitu. Tidak penting ya? Ya sudah.

Tapi mulai musim depan, saya akan sedikit memberi perhatian untuk Chelsea, klub yang dimiliki taipan Rusia yang tidak suka dengan hasil buruk, Tuan Abrahamovic. The Special One yang begitu didewakan saja ditendangnya. Apalagi hanya Roberto Di Matteo, seorang Italiano, walau berhasil memberi gelar juara Champions, juga disikatnya. Abrahamovic memang begitu atuh.

Perhatian saya tentu saja karena kehadiran Antonio Conte. Pelatih yang sukses mengembalikan Lo Spirito alias jiwa pantang menyerah La Vecchia Signora ini dikabarkan sudah resmi mulai musim depan akan membesut The Blues sesudah menukangi Gli Azzuri dalam perhelatan Piala Eropa. Lo Spirito yang dikembalikan Conte sukses menjadikan Juventus sebagai penguasa Seria A dengan tiga gelar berturut-turut. Hanya juara Liga Champions yang belum dipersembahkan. Chelsea sepertnya butuh Lo Spirito dari gairah Conte akan kompetisi yang selalu meluap-luap.

Kedatangan Conte tentu akan menarik bagi liga Inggris karena kita tahu Pep Guardiola sudah lebih dahulu memastikan menjadi pelatih anyar Manchester City. Sebelumnya telah datang Jurgen Klopp. Jika The Red Devils tetap mempertahankan Van Gagal, eh, Van Gaal karena menuruti nasehat Sir Alex Ferguson dan Arsenal tetap mempercayai cita rasa Wenger yang terus konstan calon juara itu, sungguh liga Inggris akan menjadi kompetisi yang menarik. Akan ada adu taktik pelatih tua dan muda di Inggris.

Di pendek pemahaman saya, sosok Guardiola, Enrique (Barcelona), Zidane (Real Madrid), Simeone (Atletico Madrid), Klopp, Conte, Mou, Allegri, Poccethino (Spurs) adalah generasi pelatih muda yang sedang meniti sinar terangnya masing-masing. Dalam batas tertentu generasi merekalah yang akan menentukan perkembangan taktik dan pengetahuan sepakbola dalam tahun-tahun mendatang.
Era sosok sekaliber Lippi, Capello, Ancelotti, termasuk Van Gaal dan nantinya Arsene Wenger akan segera masuk ke dalam museum sejarah sepakbola. Kita patut bersyukur berada dalam pergeseran sejarah sepakbola yang seperti ini, rasanya.

Saya tidak paham sebab gagalnya Van Gaal di MU apakah karena pendekatan yang sudah ketinggalan zaman termasuk juga mentoknya Arsenal Wenger yang sulit mencapai puncak dominasi sebagaimana ketika Thiery Henry (eks-Juventus, jangan lupakan ya) masih bermain. Feeling saya, generasi ini sudah tidak lama lagi berlalu dari ruang ganti dan sebaiknya menghabiskan waktu memancing di kolam pemancingan yang hening. Beberapa pelatih generasi tua rasanya lebih pantas menukangi Tim Nasional yang dengan begitu tidak memaksa mereka sepanjang minggu harus melihat kepala yang makin licin seperti semangka atau kolam di bawah mata yang makin tebal seolah sedang menjadi presiden. Sedih, asli.

Kita fokus ke soal Antonio Conte saja.

Conte dalam kesaksian Juventini seperti saya adalah sosok yang mampu melahirkan jiwa, spirit, karakter dalam sebuah tim. Seperti yang dilakukannya di Juventus selama tiga musim gemilang dimana Sang Kekasihnya Italia ini kembali bermain seperti era Lippi walau mungkin berbeda secara taktik dan komposisi. Lippi, lelaki kalem penikmat Cerutu, pernah mengelola tim dengan bintang yang kemudian berharga mahal, Zinedine Zidane dimana ketika itu Alex Del Piero sedang maknyus-maknyusnya. Lippi juga berani menjual Zidane ke Real Madrid lalu mendatangkan Buffon, Lilian Thuram, diantaranya, dari Parma yang membuat Juventus tetap sangar dan dominan.

Agak berbeda dengan zaman Conte. Saya kira Conte tidak mewarisi tim dengan personel bintang. Ia tidak juga menjual bintang berharga mahal dengan kompensasi pembelian yang maksimal. Ya iyalah, namanya juga baru terpapar skandal, sedang mereformasi menejemen, dan butuh kejelian alokasi biaya demi mendorong klub menjadi lebih modern. Namun Conte berhasil menjadikan Sang Metronom, Andrea Pirlo, sebagai jangkar di lapangan tengah melalui skema 3-5-2 yang kembali pada model main lama yang sudah ditinggalkan karena hegemoni 4-4-2 berikut modifikasinya. Mantan gelandang Juventus ini jugalah yang memberi jalan bagi Pogba dan Marchisio menjadi inti dalam tim bersama Bonucci yang makin stabil di lini belakang berduet dengan Chiellini. Termasuk membuat si Badung Tevez kembali sangar di depan gawang lawan. Kondisi ini makin sempurna dengan Buffon yang tetap konsisten dalam performa terbaik di usia yang tidak lagi muda. Dan kesangaran Nyonya Tua makin seksi dimana saat bersamaan Milan, Inter, Roma dan Napoli sedang bergulat melawan siklus terpuruk. Semoga siklus ini sejenis dengan ironi Sisifus, hihihi.

Conte kala di Juventus kiranya tidak terlalu dikasih banyak uang untuk membeli pemain mahal tapi ia berhasil membuat Juventus kembali seksi dan sangar. Menurut saya sih.

Di Chelsea, tentu saja situasinya berbeda. Uang mungkin lebih tersedia tapi rasanya tekanan kompetisi Barclays Premier League juga lain. Lagi pula komposisi Chelsea saat ini juga sudah banyak bintang dengan talenta yang bervariasi oleh irisan kultur sepakbola: Inggris-Spanyol-Belgia. Chelsea bukan klub medioker seperti sebelum diambilalih si taipan Rusia.

Dalam tahap-tahap awal Conte tentu harus melewati proses adaptasi dengan cepat, khususnya secara komunikatif (bahasa) dan mendalami kultur sepakbola non Italia mengingat ini klub besar pertama non Serie A yang dilatihnya. Kick and Rush Britania jelas berbeda dengan sepakbola Italia yang menekankan pada segi taktik (kata Evra sih) dan cenderung membosankan serta terlalu banyak bermain opera di lapangan hijau, hihihi. Satu lagi, Conte rasanya juga harus mempelajari sejarah pendekatan (gagal dan berhasinya) sepakbola Italia  yang pernah dicobakan di Inggris sebelum dirinya datang.

Pokoknya saya berharap Conte dalam tantangan pertamanya melatih klub besar di luar tanah Italia ini bukanlah perjudian yang membuatnya gagal dan terpuruk. Kebiasaannya berteriak sepanjang pertandingan dari pinggir lapangan semoga membuat Fabregas, dkk terus berlari-berlari-berlari dan membuat gol, menang serta meraih gelar. Kalau hanya berlari-berlari-berlari, kalah dan tanpa gelar, maka Conte hanya akan serupa kentut di bawah hingar bingar Inggris.

Intinya selamat datang di tanah Britania, Om Conte. Mulai musim depan, saya ikut ngefans Chelsea. Suer! 

Selamat malam, makan doloooo pemirsa.
Bravo Juventus!!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun