[caption caption="ilustrasi puisi. sumber: thelatinoauthor.com"][/caption]
Poetry is the universal human song, expressing the aspiration of every woman and man to apprehend the world and share this understanding with others - Irina Bokova
Selamat pagi Puisi, apa kabarmu?
Aku baru membaca sedikit kisahmu. Seperti yang sudah, sebuah pembacaan yang terlambat. Ada dua kisah yang kurasa perlu dituliskan untuk sedikit saja belajar pada sejarah dan warisanmu di negeriku, Indonesia.
Kisah pertama, yang ditulis Mbah Sapardi Djoko Damono.
Dalam Kesusasteraan Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Jurnal Kalam, No 25/2013), beliau menyampaikan keterangan jika kamu mulai berkembang di negeriku sekitar pertengahan abad ke-19. Negeriku masih bernama Hindia Belanda dan kamu tumbuh bersama perkembangan media cetak atau geliat penerbitan. Sebelum kamu masuk, mengambil perhatian lalu berkembang, di negeriku sudah lama tumbuh kesusateraan lama Melayu, seperti syair dan pantun.
Karena model perjumpaan seperti ini juga, Mbah Sapardi katakan:
Kenyataan itu tampaknya menunjukkan bahwa tradisi pantun dan syair dalam masyarakat Melayu memang sangat kuat dan bahwa proses untuk menciptakan puisi modern pada masa itu masih dalam taraf yang sangat awal. (hal 4)
Puisi, dari cerita Mbah Sapardi, aku juga sedikit mengerti jika kau baru luas digunakan sesudah tahun 1930-an rupanya. Ketika ada generasi penyair muda yang mencoba mendorong pembaharuan, mereka disebut generasi Pujangga Baru. Walau telah ada kehendak pembaharuan terhadap warisan kesusasteraan lama, pada fase pra Pujangga Baru, kamu masihlah dibuat dan dimuat sekadarnya. Seringkali sebagai “kumpulan kata” untuk mengisi halaman yang kosong pada lembar majalah atau koran. Kau masihlah “gairah yang sedang belajar dan berada di pinggiran geliat bersastra”, kira-kira begitu.
Selain dari Mbah Sapardi, kisah kedua, dari membaca riwayat perjalananmu melalui tulisan Rachmat Djoko Pradopo, Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar (1991). Pradopo berusaha menyusun pembabakan sejarah perkembangan dirimu dan menunjukkan ciri yang berbeda dari tiap babak itu. Katanya seperti ini,
Berdasarkan ciri-cirinya, pembabakan waktu puisi Indonesia Modern, Pradopo membaginya menjadi: pertama, periode Pra-Pujangga Baru (1920-1933) dan periode Pujangga Baru (1933-1942). Kedua, periode Angkatan 45: 1942-1945. Ketiga, periode 50-60an: 1955-1970an, dan, keempat, periode70-80an: 1970-1990.
Digambarkannya juga ciri-ciri tiap periode tersebut. Namun Puisi, aku hanya mau menceritakan ciri estetik dan ekstra estetik yang dibentuk dalam periode Angkatan 45 saja. Pada periode ini, salah satu pelopornya adalah penyair yang tanggal lahirnya dijadikan hari puisi di Indonesia. Siapa lagi jika bukan Chairil Anwar, penyair yang membuat Doa memaksa manusia menyadari eksistensi dirinya yang fana:
Kepada Pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling
(13 November 1943)
Resapilah itu, betapa Chairil Anwar menghadirkan kerinduan manusia pada kekuatan yang besar dan kudus. Kamu dalam permenungannya adalah rangkai kata yang mewakili suasana jiwa-jiwa manusia yang hidup bersama dunia yang terus berubah pesat dan mudah sekali menghadirkan ketegangan, benturan kegamangan, rasa linglung, kecemasan serta keterasingan yang dapat berujung kehancuran pegangan nilai.
Dari Doa itu, mari kita bicarakan pembentukan ciri yang hari ini sangat membantuku. Kita akan melihat cirimu pada Angkatan 45. Kata Pradopo, ciri-ciri estetikmu pada generasi ini adalah:
- Puisinya puisi bebas, tidak terikat bait, jumlah baris, dan persajakan
- Gaya ekspresionistis
- Aliran dan gaya realisme
- Pilihan kata (dksi) sarana penting untuk mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk intensitas arti; mempergunakan kosa kata bahasa sehari-hari sesuai dengan aliran realisme
- Bahasa kiasan yang dominan adalah metafora dan simbolik; kata-kata, frase, dan kalimat-kalimat ambigu menyebabkan arti ganda (banyak tafsir)
- Sesuai dengan ciri (5) gaya sajaknya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris sajak dan kalimat-kalimatnya implisit
- Gaya pernyataan pikiran berkembang
- Gaya ironi dan sinisme menonjol
Sementara ciri ekstra estetikmu adalah:
- Individualisme menonjol dalam arti, kesadaran kepada keberadaan diri pribadi, terpancar dengan kuat dalam sajak-sajak periode ini.
- Sajak-sajak mengekspresikan kehidupan batin/kejiwaan batin manusia lewat peneropongan batin sendiri.
- Sajak-sajak mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal) dengan jelas, seperti tentang kesengsaraan hidup, hak asasi manusia.
- Masalah kemasyarakatan menonjol: dikemukakan kepincangan dalam masyarakat , seperti gambaran perbedaan yang mencolok antara golongan kaya dan miskin.
- Filsafat eksistensialisme mulai dikenal, lebih-lebih tampak dalam sajak sesudah tahun 1950; aspek-aspeknya tampak seperti paham karpedim (memetik hari ini), hedonisme (menikmati hidup sebelum mati), absurditas kehidupan, nihilisme, serta kefanan hidup yang membuat hidup menjadi sia-sia.
Membaca penjelasan ciri Pradopo ini, makin kumengerti mengapa permenungan puitik Chairil Anwar boleh “menjadi abadi”. Terhadap diriku sendiri, dalam tradisi 45, boleh kutemukan kesesuaian gaya dalam warisan yang sudah dikembangkan Angkatan 45 itu.
Puisi, sekarang ini zaman sudah jauh berkembang. Bila awal-awal pesat perkembangan dirimu sesudah datang sebagai warisan Barat sangat terbantukan geliat dunia penerbitan (media cetak), sekarang ini sudah ada pendukung lain yang membuatmu bisa lahir dari siapa saja dimana saja. Pendukung itu adalah kehadiran digitalisme, dimana manusia hari ini bisa menuliskan suasana batinnya, dalam getar romantik atau kecemasan eksistensial-sosial dari hidupnya yang fana dan sehari-hari tanpa harus mengirim ke koran atau majalah.
Karena itu juga Puisi, dalam batas tertentu, apa yang sudah diwarisan Chairil Anwar dan angkatan 45 adalah anugrah sejarah untuk hari-hari yang kini dimana aku menulis kamu tanpa perlu mengalami ketakutan. Ketakutan yang disebabkan perasan tidak taat pada aturan main yang didisiplinkan oleh pengertian ahli atau harus menjadi sastrawan terlebih dahulu. Aku hanya ingin selalu menulis kamu dengan sepenuh kenyamanan diri.
Puisi, ijinkanlah aku tidak harus berpredikat macam-macam untuk bisa menghargai kamu. Ijinkan aku menggunakan kamu untuk menceritakan hidup hari-hari manusia kini yang sesekali resah, cemas, juga penuh rindu, sesekali sarat cinta dan kebahagiaan; menulis kamu dalam pasang surut hidup manusianya. Sudilah juga menginjinkan aku menggunakanmu untuk mengabdikan kefanaan perjalanan hidup manusia dalam pemenungan yang amatir dan awam.
Oh ya Puisi, Mbah Sapardi pernah menulis begini:
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
[1982]
Puisi, barangkali denganmu, kesaksian kami yang hidup hari ini boleh juga dikenang. Walau tak mesti seabadi mengenang Chairil Anwar dan warisan permenungan puitiknya.
Selamat merayakan dirimu, hari ini, di seluruh dunia: PUISI!
***
*) Tentang World Poetry Day, sila kunjungi www.unesco.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H