[caption caption="ilusi/sumber: beforeitsnews.com"][/caption]
Minggu ketiga: terinspirasi lagu
Dalam mimbar, pada sumuk yang jenuh. Umbul-umbul yang berkibar malas dari sepoi angin mendung.
“Republik ini dibangun oleh partai politik. Camkan itu!”
Politisi setengah baya yang berpidato. Suaranya keras sekali, tapi bercampur sangsi. Seperti membaca buku lusuh yang sudah kabur huruf-hurufnya. Sesekali melihat teks, lalu mengulang lagi. Dengan keras suara yang sama:
“Tanpa partai politik, republik ini tiada. Republik dengan R besar. Pegang itu!”
Di depan mimbar, sepoi angin mendung mulai membawa basah. Tik. Tik. Tik. Menjadi gerimis rupanya. Telinga-telinga yang berdiri mulai resah, kaki-kaki mulai ingin kabur. Mata cemas mereka saling memandang. Salah satu bertanya pelan sekali, “berteduhkah kita?”
Tak ada sambutan. Gerimis makin menjadi deras, menghujam tajam seperti tombak menancap di tumit Achilles. Telinga-telinga yang resah kini mengambil langkah yang tadi tertunda. Bubar mencari teduh.
Dalam mimbar, politisi separuh baya masih berteriak yang sama.
“Tak ada partai politik, tak ada republik. Republik dengan huruf R besar.” Sama dengan yang tadi, membaca teks. Tetiba seorang gila menyerbu mimbar dengan berteriak menghentak. Meneriakan selarik puisi:
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi*)
Di depan mimbar, gerimis berubah banjir. Telinga-telinga resah dan politisi separuh baya tenggelam. Orang gila itu terbahak.
Terinspirasi dari lagu Kesaksian, Kantata Takwa. Larik puisi dikutip dari puisi Goenawan Muhamad, Kwatrin tentang Sebuah Poci. Karya keempat terinspirasi lagu ini kembali diikutsertakan merayakan HUT Perdana RTC.
[caption caption="logo"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H