Ini tafsir saya atas salah satu lagu yang sangat filosofis dari nyanyi Iwan Fals. Sesudah memaknai secara subyektif seperti ini, saya bergerak mencari “pesan baru” yang mungkin perlu untuk ditelusuri. Pesan itu adalah memasuki dilema eksistensial manusia. Dilema yang saya hadirkan dengan membangun metafor gelap goa, cahaya pelita dan kesadaran (si lelaki). Saya mendialogkan mereka dengan maksud menunjukkan problem eksistensi manusia terhadap pengertian (cahaya), ketidakmengertian/ketaktahuan (gelap goa) dan sisi yang berdiri diantara keduanya: bayangan.
Selalu ada yang tersisa, tak sepenuhnya termengerti, dari pengetahuan yang tumbuh dalam perjalanan eksistensi manusia. Selalu ada ketidaktahuan, wilayah yang belum dimaknai sama sekali, misteri abadi dalam perjalanan itu. Dan ada juga yang selalu membentuk irisan dari keduanya. Wilayah ini yang sering kali tidak ditelusuri karena manusia terlanjur terjebak pada tahu dan tidak tahu lalu lupa ada yang berdiri diantara tahu dan tidak tahu itu.
Menghadapi dilema irisan inilah, saya mendorong si Lelaki itu menempuh satu aksi radikal: ia membanting pelita, membunuh cahaya dan menghadapi kegelapan total. Supaya apa? Agar tak ada lagi irisan misterius itu. Barangkali dengan mengalami gelap yang total, ia boleh memulai dari awal, menjadi “bayi” (?). Piye jal?
Kedua, menggunakan kata dalam menyusun narasi secara hati-hati dan efektif. Ini sifatnya memang teknis namun justru disitulah tantangan yang tidak mudah. Apalagi bagi saya yang terbiasa menulis cerita pendek serupa esai, hihihi. Inilah akibatnya kalau membiasakan diri dengan bahasa deskriptif dengan berusaha ketat pada yang empirik-induktif dalam cerita pendek.
Pada pengalaman ini, saya mengalami kenikmatan ketika menggunakan lagu Ipank, Ada yang Hilang. Secara harafiah, lagu ini adalah teks tentang jiwa yang pernah berbagi kasih sayang lalu berpisah. Persisnya, pada lirik pembuka bertutur begini:
Aku hanya bisa terdiam
Melihat kau pergi dari sisiku
Dari sampingku
Tinggalkan aku seakan semuanya
Yang pernah terjadi Tak lagi kau rasa
Pengalaman berpisah dari kasih sayang adalah rasa sakit. Rasa sakit yang menyembunyikan kuasanya bersama siksaan "rasa ada yang hilang", rasa yang menyebabkan kekosongan dalam palung hati (hiiik). Begitulah kurang lebihnya lirik milik Ipank.
Saya menggunakan lagu ini untuk menunjukkan pengalaman rasa sakit sebelum bersama dari dua jiwa dalam cerita Sesak Sekali. Rasa sakit yang muncul karena ketidakberanian mengambil sikap (: bahwa kau menjadi kekasihku, aku sebagai kekasihmu)dan menimbulkan akibat tindakan yang menahan diri untuk saling berbagi (:jiwa-jiwa yang menutup).
Puncaknya adalah manakala si Aku harus menderita sakit yang mengacaukan dunia sehari-harinya (kerja) dan tergeletak di rumah sakit. Sendiri dan merasakan sakit fisik itu lalu menjadi siksaaan yang pelan-pelan menggerogoti jiwanya yang suka memendam sendiri. Latar rumah sakit dengan dinding putih yang tak bicara dihadirkan untuk memberi kesan tentang kematian yang dingin.
Si Aku menjadi cemas dan dasar jiwanya yang paling butuh kemudian mendorong pikirannya untuk menghubungi Dita, si perempuan. Ternyata hari ketika mulai menyadari adanya kebutuhan tersebut, ia mendapat kiriman paket yang membunuhnya: undangan resepsi nikah si Dita. Permohonan doa restu untuk pilihan bahagia yang diambil Dita.
Bagaimana menyampaikan pesan getir yang seperti ini dalam 200 kata untuk menunjukkan rasa sesak itu? Di situlah kenikmatan memilih kata secara efektif benar-benar diuji. Bukan saja menunjukkan konteks logis cerita, tetapi juga kepadatan dialog dan penggunaan perlambang yang memperkuat suasana sesak karena hati yang patah.