[caption caption="pelita/sumber: hdwallpaperbook.com"][/caption]Minggu ketiga: terinspirasi lagu
Lelaki yang menyalakan pelita. Dalam goa, hanya ada dirinya dan bayangan yang meliuk di dinding terjal. Dan kepada cahaya pelita, berdialoglah dirinya.
“Di depan cahaya, manusia tidak mampu menceritakan bayangannya sendiri. Lebih mampu menceritakan dirimu. Bahkan menjadi bergantung kepadamu. Menggunakanmu menyingkap gelap. Bisakah kau menyingkap kegelapan bayangan sendiri? Tidak pernah mampu bukan?”
Hening menjeda. Bayangan duduk tubuhnya bergerak mengikuti liuk api, liuk terang pelita.
“Masalahnya bukan di kamu. Tapi pada keterbatasan inderawi, keterbatasan fisikal. Terutama mata. Mata, jendela masuknya gambar-gambar yang terang bagi pengertian yang mereka pegang. Tapi, bisakah mata memberi gambar yang terang terhadap bayangan tubuhnya sendiri selain mengatakan itu bayangan saja? Tidak pernah bisa, bukan?”
Kembali hening. Bayangan yang meliuk pada dinding terjal goa itu kini mengecil. Cahaya pelita terserbu angin sepoi dari celah dinding goa.
“Mengapa manusia tidak suka berlama melihat bayangannya sendiri? Apakah mereka takut? Atau memang lekas melupakan apa saja yang menjadi jejak dari perjalanan hidupnya sendiri?”
Cahaya pelita makin mengecil. Di luar, petir menggelegar. Bayangan pada gua makin kecil dan berhenti meliuk.
“Bagaimana jika aku menghancurkanmu, memusnahkan bayanganku? Tidakkah kegelapan total akan membuat runtuh seluruh pegangan pengertian dari cahayamu?”
Pelita dibantingnya. Gelap total. Bayangan musnah, pertanyaan berhenti.
Hening kini bening. Lelaki itu menyongkel korneanya.