Sains dan teknologi telah menghadirkan mekanisasi pada ekonomi dan perang. Jika pada mulanya, ini bermaksud mengurangi keterlibatan tenaga manusia dengan mesin, apakah tidak mungkin proses demikian akan terus masuk pada wilayah "menciptakan manusia?"
Kedua, kisah kegagalan menjadi tuhan gaya Victor Frankenstein ini membawa pikiran membayangkan dunia yang chaos, realitas yang belum bermakna. Sebuah dunia yang memaksa manusia untuk mempelajari lagi apa itu dirinya dan alam raya dari awal. Belajar seperti bayi, yang mengeja dan terdengar tidak jelas maksudnya.
Kisah Prometheus buatan Frankeistein membawa pesan chaotik yang sama. Dalam batas tertentu ini juga menghajar keyakinan subyek rasional dalam filsafat pencerahan yang dingin dan menyembah saintisme. Filsafat pencerahan hanya menemukan dasar moral-filosofis dari kehadrian manusia yang dijuduli dengan klaim-klaim agung: rasional, progres dan kritis. Manusia bisa menjadi tuan atas sejarahnya sendiri, Sapere Aude!
Frankenstein yang percaya pada saintisme sejenis bergerak lebih jauh. Ia tidak mencari dasar moral-filosofis, ia justru menciptakan manusia. Di tangannya, rasionalisme bukan saja syarat pembeda dan daya kreatif yang memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan dan peradaban besar.Penjelasan atau keyakinan begini tidak membuat Tuhan sepenuhnya dibuang.
Di tangannya, rasionalisme adalah cara untuk menciptakan manusia tanpa intervensi total dari Tuhan. Di imajinasinya, manusia adalah dalang sekaligus wayang. Narasi Frankeistein hanya berujung kegagalan. Ia tidak bisa menciptakan dunia baru yang menjadi chaos pada tatanan kosmis ciptaan Tuhan. Ia baru sampai menghadirkan chaos kecil yang balik menghantamnya.
Ketiga, kisah Frankenstein adalah juga cemooh bagi manusia yang merasa telah memegang kebenaran hakiki lantas berusaha menentang keberadaan alam dan kuasa penciptaan. Peringatan ini rasanya juga abadi.
Hari-hari ini, kita tidak perlu menjadi Frankenstein baru untuk kurang ajar kepada alam atau kuasa Penciptaan. Kita berdebat sudut pandang bukan untuk mencari pengertian yang sesuai atas kenyataan tapi lebih sebagai adu benar milik siapa. Seolah saja kita memahami betul realitas yang bergerak di depan mata. Kita juga membangun kota dan desa bukan untuk melayani kebutuhan tapi juga memperkosa alam untuk menampung keinginan dan kerakusan tiada batas.
Dengan bahasa lain, kita sedang mempertontan diri sebagai tuhan. Kita adalah spirit Victor Frankeinstein dengan cara dan zaman berbeda saja.
Huuuuft. Tiga peringatan yang sangat serius buat saya. Seketika menjadi ingat lagi pesan: di hadapan kebenaran, milikilah sopan santun! [Nietzsche]
Sesudah menonton Frankeinstein, saya tahu harap seperti pembuka di atas itu sebaiknya tidak pernah terjadi. Kalau pun terjadi, saat itu memang sudah kiamat. Semua musnah tak bersisa agar tak ada lagi pesan peringatan yang bikin gentar.
Selamat makan siang, salam!