Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gotong-royong 100 Puisi dan Ajakan Empati Kita

26 Februari 2016   09:57 Diperbarui: 4 April 2017   17:00 1427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

100 puisi orang-orang kecil adalah ajakan kecil untuk berempati.

Empati tidak selalu bergetar karena kesengsaraan dan penderitaan yang berulang hadir di depan mata bisa menjadi banalitas. Menjadi banal artinya diterima sebagai sudah begitu adanya, sesuatu yang given. Misalnya karena saya sering melihat anak-anak pengamen mudik dari Tebet ke Pancoran, kesaksian saya lambat laun melihat itu sebagai sudah begitu dari balik mobil pribadi atau angkutan umum di tengah kemacetan. Saya tidak memaknainya sebagai gambar diri sendiri yang sedang malang.

Saya setuju bahwa manusia sangat lekas bersimpati pada penderitaan tetapi sangat sedikit yang mau lelah dengan pemikiran.

Ini artinya getar empati kita bisa salah sasaran. Misalnya, kita begitu mudah memberi uang pada pengemis yang bolak-balik datang dan tidak memeriksa bahwa mengemis adalah taktik mendapatkan uang secara malas di ibu kota. Kita tidak tahu cerita bahwa pengemis adalah proyek berburu remah-remah rupiah sebagaimana pernah diinvestigasi majalah Tempo dahulu.

100 puisi jelas tidak memiliki “jangkauan kritis” sampai ke ranah itu. Andai pun ia sampai ke sana, maka sebaiknya yang dihajar adalah tata kelola kekuasaan dan distribusi sumberdaya ekonomi yang masih menyandera kapasitas realisasi mandat sosial dari negara.

Singkat kata, 100 puisi hanyalah ajakan untuk merawat lagi sisi batin kita yang masih peduli, masih mudah terenyuh, masih mudah berlinang air mata, dan masih lekas resah jika melihat orang-orang kecil itu seolah bergulat dengan narasi pilunya seorang diri setiap hari. Ia bukan "teori kita tentang orang-orang kecil".

Ajakan 100 puisi juga dimaksudkan agar kita tidak lekas-lekas menjadi manusia yang justru menyalahkan korban, blaming the victims. Misalnya saja, saya dari keluarga miskin tapi ayah dan ibu bekerja keras menyekolahkan agar saya memiliki modal budaya dan ketrampilan untuk bisa terlibat dalam mobilisasi status sosial. karena itu juga, orang-orang miskin di mata saya adalah mereka yang malas, mereka yang memiliki "need for achievement" rendah. Mereka tidak perlu dipedulikan. Apa yang mereka alami adalah kebodohan dan kemalasannya sendiri.

Dalam pandangan saya, sikap seperti ini jelas ancaman terhadap kemampuan menajamkan empati dalam hidup bertetangga. Bisa saja sudut pandang seperti di atas benar adanya, apalagi jika kita memolesnya dengan cara melihat teori modernisasi dalam pembangunan. Namun bagi saya, sikap seperti ini menyimpan bom waktu anti-sosial yang serius. Sikap begini juga yang pada dasarnya subur diam-diam dalam ruang batin kelas menengah yang membuat mereka disindir ngehe: jika kepentingannya terusik, berisik, bila tidak, masa bodoh sambil berucap: urusanmu!

Sekali lagi, 100 puisi orang-orang kecil adalah ajakan kecil pada rasa empati itu. Dengan 100 puisi, kita berharap bisa menyuarakan orang-orang kecil, bukan menstatistikannya.

Dari puisi-puisi yang dipublis, kita bisa membaca berupa warna wajah kesengsaraan, kemalangan, penderitaan, perjuangan, juga harapan orang kecil. Kita boleh jadi membacanya seperti membaca diri sendiri. Kita juga boleh jadi membaca itu sebagai keberuntungan diri yang tidak boleh lupa bahwa masih banyak yang tidak beruntung. Dan yang tidak boleh kita nafikan, dari membaca ratusan puisi orang kecil dengan segala kegetiran mereka, ingatlah selalu: kekuasaan yang mengatur distribusi sumberdaya ekonomi masih belum bekerja dengan baik dan benar.

Karenanya pada empati yang terpelihara untuk orang-orang kecil kita memiliki sedikit kewajiban untuk terlibat mengurangi kegetiran dengan kemampuan yang dimiliki. Direncanakan jika bunga rampai puisi orang-orang kecil ini menjadi buku dan boleh laku dijual maka seberapa pun keuntungannya akan diberikan langsung kepada mereka yang membutuhkan. Tidak banyak yang bisa kita bagikan, tapi barangkali dengan sedikit saja bisa menunjukkan kehendak hadir bersama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun