Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

[MBA] Mereka Bikin Aku..

25 Februari 2016   09:04 Diperbarui: 25 Februari 2016   10:21 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah Cicero, orator ulung dari Romawi yang berujar: idealisme anak muda itu serupa orang mabuk!

Sempoyongan tapi ngotot, linglung tapi mengajak tarung. Aku pernah persis begitu. Idealismeku mabuk dan menjadi kurang ajar. Lalu menantang segala pandang yang berdiri berbeda, merasa diri paling benar dari yang benar.  

Pertama, kepada Ayahku, guru sederhana yang bertahan mengabdi di Papua hingga pensiunnya.

Kala itu, aku sedang genit-genitnya bertemu yang namanya Gender dan Feminisme. Membaca beberapa buku saja, aku merasa mengerti seluruh isi perut wacana dan gerakan ini. Lalu berani terlibat dengan perseteruan pendapat dengan Ayahku. Aku ngotot dan membenarkan pemikiran yang ku pandang benar.

Ayahku hanya tersenyum, beliau tidak membantah kutipan-kutipan dari pemikiran beberapa figur yang aku ajukan. Beliau hanya cerita, bagaimana ibuku menjadi seorang guru sekaligus ibu yang setiap pagi menyiapkan sarapan sejak adzan subuh berkumandang. Tak pernah mengeluh apalagi berteori atas bawah yang bikin pengap dan pada akhirnya bingung sendiri.

Apa yang terjadi kemudian? Aku remuk-redam berantakan. Pemahaman membutuhkan penghayatan kenyataan yang baik, bukan penghapalan halaman buku yang teliti. 

Kedua, kakak angkatan di kampus. Beliau orang yang kini sudah memiliki nama harum dan sedang bergiat dengan pilihan menjadi pengajar dan menulis buku di pinggiran. Beliau juga menolak bergabung pada pusat-pusat intelektual di kota-kota besar Indonesia. "Indonesia dibangun dari pinggir." begitu alasannya ketika kutanya mengapa menolak bekerja di LIPI.

Masa itu, aku membaca sebuah halaman pengantar dan beberapa paragraf awal di bab pendahuluan sebuah buku. Karena ingin mencari muka, ku ajak dia melihat kalau aku sudah membaca buku. Maka kutanyakan beberapa hal yang secara percaya diri langsung kusampaikan sementara pada saat bersamaan ia sedang serius membaca buku yang tebal. Mungkin buku Thomas Raffles, manusia Inggris yang pernah jadi Gubenur tanah Hindia.

Begitu selesai tanya kusampaikan, dia menatapku dengan tajam, lalu bilang begini: “pertanyaan apa itu? Bodoh sekali, baca buku sampai selesai, baru bertanya!”

Ya Tuhan, hancuuuur. Remuk. Tidak adakah kata yang lebih lembut? Lalu dia menambahkan, “membaca seperti kamu itu hanya akan jadi genit. Orang genit dijauhi pengetahuan yang benar.” Aseem, jadi ingat cara mengeritik ayah dulu.

Ketiga, dosen sekaligus ayah angkatku. Ia seorang Protestan plus Weberian. Pendeta dan peneliti yang gigih.

Ketika itu, aku semau-mau perut masuk ruang belajar. Rambut gondrong, sendal jepit, jeans satu-satunya, sobek dari paha sampai lutut. Jangankan mandi, cuci muka saja tak pernah. Yang menyelamatkan aku, karena sering duduk di depan dan selalu "ngeyel" mendebat penjelasan. Ruang belajar jadi hidup. 

Dosen-ayah angkatku ini tak pernah menegur langsung, ia hanya memandang penampilanku. Hingga menjelang ujian semester, beliau memanggil secara khusus, bicara dengan lembut, sebagai ayah kepada anak.

“Ji, kalau mau ujian, saya selalu rapi dan bersih. Bagi saya ujian ilmu adalah pengujian tanggungjawab kita di hadapan Tuhan, yang telah memberi akal yang normal. Saya selalu berdoa dengan khusyuk sebelum ujian, karena menghargai anugerah pengetahuan dari Tuhan. Pengetahuan yang harus saya pertanggungjawabkan sepanjang hayat.”

Apa yang terjadi kemudian kawan? Aku tertunduk, malunya bukan main. Tak ada kata terucap hingga beliau mengatakan, “pulanglah, kau tidak bersiap berbuka puasa?”

Ampuuun. Ampuun. Remuk ketiga terbaik yang kudapatkan.

Keempat, seorang warga di salah satu desa sungai tertinggal.

Ketika itu, aku sedang duduk di bangku depan rumah. Sambil membakar bekas tatakan telur demi mengusir nyamuk yang menyerang dalam gelap, aku memikirkan baseline sosial ekonomi desa-desa tepi sungai yang baru selesai dikumpulkan. Angka-angkanya bikin stres. Dalam hati, bagaimana bisa orang-orang desa di sini hidup dengan pendapatan harian paling banyak 50 ribu rupiah secara tidak stabil?

Lalu datang warga itu, bertanya: “Kamu kenapa? Ada masalah?”

Spontan aku jawab, “bagaimana bisa orang hidup dengan uang sejumlah 50ribu rupiah per hari?” Terbayang segala macam kritik atas pembangunan yang meminggirkan. Wajah Andre Gunder Frank, perintis Dependency theory tersenyum di kepala. Ada marah yang meluap diam-diam.

Dia balas menjawab, “itu kalau dapat Ji. 20 ribu saja sudah syukur.”

Aku diam. Lalu dia menambah lagi “begitulah orang-orang di sini hidup sepanjang tahun Ji. Mengeluh buat apa? Jalani saja.” Ampuun. Dalam hatiku, masihkah akan mengeluh tentang hidup dan stressmu yang kekanak-kanakan itu?

Remuk, remuk. Baru dihadapkan dengan susah sebentar dan seuprit, merasa diri paling berhak menyatakan kritik.

Begitulah empat perjumpaan dan kejadian yang menampar idealismeku yang serupa orang mabuk itu.

Baru membaca sedikit, menantang diskusi ayah sendiri. Baru melihat halaman depan, sudah berkomentar seluruh isi pekarangan buku. Baru bisa "ngeyel" di ruang kuliah, merasa sudah boleh menginjak kemuliaan ilmu pengetahuan. Baru dikasih kesulitan sedikit, paling merasa berhak menghakimi kenyataan. Bersimpati pada penderitaan itu baik, tapi tanpa pemikiran yang matang, apa jadinya? 

Memalukan, kalau bukan bisa menghancurkan!

Aslinya sih banyak kejadian memalukan dari orang-orang yang menunjukkan bagaimana manusia dan hidupnya, bagaimana idealisme itu sesuatu yang terus membentuk dirinya dalam pergumulan kenyataan, bukan berhenti dan mengutuki apa-apa saja yang dipandang berbeda. Idealisme atau idelogi, pesan Goenawan Muhamad adalah suluk, jalan ruhani, bukan benteng yang menjadi tertutup dan alat bertahan diri yang naif.

Tapi kukira empat peristiwa saja sudah cukup, masa iya buka kartu terlalu banyak? Huwo huwo. Sungguh, Mereka Bikin Aku remuk. Mereka Bikin Aku tahu diri.

Terimakasih pengalaman!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun