Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[14 Februari] Rasa Cemas-Takut dan Cinta yang Aktif

14 Februari 2016   14:37 Diperbarui: 14 Februari 2016   17:30 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya sudah berada di pulau Sulawesi. Saya mulai menyimak berita atau laporan tentang ledakan politik dan kerusuhan di Jakarta, lalu berlanjut dengan kerusuhan berdarah di bumi Poso, Maluku, dan Maluku Utara. Berbeda dengan sebelumnya, wajah bangsa yang ketakutan hadir dengan jelas. Ini dimungkinkan karena, pertama, karena saya membaca beberapa ulasan yang bilang Indonesia sedang diperhadapakan dengan dua skenario geopolitik yang sudah sukses dalam sejarah, yakni model Balkanisasi yang menyertai keruntuhan imperium Soviet (Rusia Lama) dan Afrikanisasi, yang merawat perang saudara berkepanjangan.

Kedua, karena saya melihat kerusuhan berdarah itu sebagai peristiwa yang dekat dan terhubung langsung : keluarga besar ibu saya berada di Maluku Utara dan beredar informasi, arus liar kerusuhan akan masuk juga ke Sulawesi Utara. Bencana kemanusiaan ini bisa sewaktu-waktu menjadikan juga saya sebagai tumbal. Maka, saya sekejap disergap cemas dan takutyang bersamaan tumbuh dengan sedikit pengertian tentang kecemasan dalam hidup berbangsa.

Tahun 2011, saya kembali berada di daerah Padang Bulan, Abepura-Jayapura untuk sebuah kunjungan rindu kepada Ibu. Ketika itu, rangkaian teror penembakan misterius sedang terjadi. Kecemasan dan ketakutan yang sudah membentuk pesannya di dalam dunia batin saya, kali ini muncul lagi ke permukaan, merayakan kuasanya. Pengertian saya tentang mereka berdua pun terus meluas hingga membuat bergumul dalam suasana hati yang terus remuk.

Papua adalah rumah lahir saya, selamanya akan begitu dan selalu begitu. Ketika teror dan horor itu bekerja, saya melihat rumah lahir yang sedang membakar dirinya.

Tak ada cinta yang selalu hidup seperti cinta terhadap kampung halaman dan manusia-manusianya. Cinta yang merawat rasa terikat dan rindu kental kemana pun jalan nasib membawa. Bahkan mereka yang menjadi pelarian politik di luar negeri dan sudah hidup baik, tetap saja memiliki ruang rindu yang terus hidup untuk tanah lahirnya.

Karena itu juga, melihat teror dan horor yang mengerikan, kecemasan saya makin tak terkendali. Saya merasakan Jayapura masa kecil dan remaja yang tak lagi ada, seolah saja seluruh kesaksian hidup sedang dilempar pada sebuah tempat yang asing dan mengancam. Seolah saja, saya tidak pernah lahir dan baru beberapa hari menjalani hidup di sini, menjadi orang baru.

Sama seperti saat sebelum dan sesudah Soeharto jatuh dulu, kali ini pun saya membangun pengertian yang bisa menjelaskan situasi yang sedang terjadi dan bagaimana seharusnya saya bersikap terhadap rasa cemas dan ketakutan. Saya mencari tahu informasi kepada sahabat-sahabat masa kecil yang sama takut juga cemas kemudian saya membaca beberapa laporan riset tentang Papua. Saya tidak ingin melihat Jayapura hadir sebagai yang asing, saat itu. Saya harus punya pengertian yang baik terhadap kecemasan dan ketakutan agar tidak dikuasai olehnya. Dengan begitu, berharap boleh tetap waras!

Narasi mengalami cemas dan takut seperti ini menunjukkan ruang batin individu berhadapan dengan ledakan chaos di dalam sistem besar bernama negara-bangsa. Ada makna yang retak, ada kesaksian yang tersungkur, dan rasa at home yang hancur. Dalam suasana begini, saya hanya berusaha terus menyusun pengertian yang baik sembari meyakini satu prinsip : yang tidak boleh atau diharamkan musnah adalah rasa cinta dan harapan bahwa manusia pada dasarnya baik dan bersaudara. Karena itu juga, narasi teror, horor, kerusuhan pasti akan menjumpai bab penutupnya dalam sejarah Indonesia Raya. 

Sesudah berusaha terus menyusun pengertian akan situasi dan rasa cemas-takut tadi, saya mencari satu penjelasan, contoh sejarah, tentang cinta yang aktif, yang terlibat yang memberi. 

Merawat-bangun-sebarkan Cinta yang aktif

Love is an activity, not a passive affect; it is a "standing in," not a "falling for." In the most general way, the active character of love can be described by stating that love is primarily giving, not receiving [ibid, p 22]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun