Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[14 Februari] Rasa Cemas-Takut dan Cinta yang Aktif

14 Februari 2016   14:37 Diperbarui: 14 Februari 2016   17:30 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Any theory of love must begin with a theory of man, of human existence [Theory of Love, dalam The Art of Loving, Erich Fromm, 1956]

---

Dalam berkehidupan, setiap kita memiliki sebab-sebab rasa cemas dan takut yang berbeda, bervariasi dan menimbulkan endapan kesaksian yang tidak semakna. Misalnya saja ada jenis kecemasan terhadap hubungan-hubungan lingkup kecil, dengan orang-orang dekat ada juga yang berkaitan dengan hubungan-hubungan yang lebih besar, dalam konteks kehidupan masyarakat, lingkungan hidup, negara dan bangsa.

Tema rasa cemas dan takut sendiri adalah subject materiil yang menyibukan para filosof, khususnya mereka yang berdiri dalam sudut pandang eksistensialisme, seperti Jean-Paul Sartre atau Albert Camus. Camus, misalnya, dalam novel berjudul Sampar, mencoba menggambarkan bagaimana manusia dan rasa cemas serta model tindakan yang dipilih dalam menghadapi bencana penyakit sampar. Pada novel yang lahir dari riset serius menunjukkan dalam bencana, terlibat-bertindak menunjukkan kemuliaan manusia. Hidup menjadi berharga karena bertindak untuk yang kini dan disini dengan sesama. Camus memang tidak percaya narasi sesudah mati seperti yang diajarkan agama-agama.

Cerita selanjutnya bukan tentang ajaran eksistensialisme. Berikutnya akan lebih banyak pada berbagi sedikit cerita tentang kecemasan, ketakutan, serta beberapa contoh cinta yang aktif dan pernah ada dalam sejarah kita, masyarakat Indonesia. Cerita saya mencoba mengambil narasi dari pengalaman subyektif yang memiliki jejaknya pada pemaknaan akan hubungan-hubungan besar yakni hidup bermasyarakat, bangsa dan negara. 

Pengalaman Cemas dan Takut dalam hidup berbangsa

Saya mulai cerita dari Papua, surga kecil yang dititipkan Tuhan ke bumi Indonesia.

Pertengahan tahun 1990an, di Abepura, Jayapura-Papua, terjadi ledakan huru-hara politik yang membuat kota itu mengalami siaga satu. Beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum terbakar juga pertokoan dan pasar. Suasana tenang berubah tegang, hubungan antar anak suku menjadi sarat kecurigaan dan buruk sangka. Seolah saja, saat itu sedang berada dalam kemungkinan perang saudara. Hilir mudik patroli keamanan membuat suasana akan perang itu makin kental mencekam.

Saat itu, saya belum memiliki pengertian tentang kecemasan atau apa yang seharusnya dicemaskan. Bangsa masih merupakan kategori politik-abstrak yang belum tampil dalam benak sebagai panggilan kesadaran. 

Saya juga masih ingat saat itu kami harus tidur dalam satu rumah besar, bercampur anak-anak dan perempuan, sementara di luar beberapa lelaki dewasa menggelar ronda. Aparat keamanan gabungan juga sibuk mengawasi malam dan memburu mereka yang ikut dalam huru-hara tersebut. Malam-malam sesudah hura-hara itu, saya merasakan sekali ketegangan yang sebelumnya tidak pernah ada. Tapi saya tidak cemas, tidak takut, hanya larut dalam ketegangan. Sesudah situasi kembali dipulihkan, hari kembali normal dan saya kembali gembira bermain bola atau pergi mengambil mangga tetangga tanpa permisi, lantas lupa pernah mengalami malam-malam seperti itu.

Sesudahnya, pada tahun-tahun menjelang dan sesudah Soeharto jatuh, penghujung 90an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun