Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[14 Februari] Rasa Cemas-Takut dan Cinta yang Aktif

14 Februari 2016   14:37 Diperbarui: 14 Februari 2016   17:30 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengertian yang baik akan rasa cemas dan takut kala melihat chaos berupa huru-hara politik dan kerusuhan melanda negara bangsa adalah satu langkah permulaan saja. Langkah berikut adalah membuat pengertian tersebut menjadi aktif, bertindak, bukan tenggelam dalam tafsir-tafsir yang dimengerti sendiri. Tafsir-tafsir yang membuat manusia menghadapi kecemasan hidup berbangsa sebagai manusia abstrak dan berjarak dengan situasi riil.

Salah satu cara membuat pengertian yang baik tentang rasa cemas-takut bertindak adalah dengan menghidupkan cinta dan harap yang aktif. Cinta adalah seni menjalani kehidupan yang baik, karena itu juga cinta merupakan pengetahuan yang dibutuhkan. Begitulah kurang lebih pesan yang ditegaskan Erich Fromm dalam buku the Art of Loving, yang kata-katanya saya kutip di atas.

Cinta yang aktif adalah cinta yang terlibat dalam hidup bersama, paling kurang dalam lingkup keluarga hingga dalam kehidupan yang lebih besar lagi, masyarakat bangsa dan negara. Cinta yang bergerak untuk membangun kehidupan yang saling menjaga, mengasih-mengasuh, dan berbagi rasa aman dan persaudaraan anak manusia.

Cinta seperti ini akan selalu tergetar terhadap kondisi-kondisi mengenaskan yang menerpa manusia lain. Selalu akan mengalami kegelisahan ketika menemukan sesamanya masih dalam dera penderitaan hidup berkepanjangan. Cinta ini akan selalu gelisah ketika menyimak kemanusiaan yang porak poranda.

Tapi cinta seperti ini tidak melulu merupakan ekspresi rasa terenyuh alias selalu dalam wilayah perasaan.

Cinta seperti ini juga akan marah dan melawan aksi perampokan kekayaan negara demi kepentingan segelintir orang. Termasuk akan bersikap kritis terhadap perilaku korporasi yang menghancurkan lingkungan dan masyarakat sekitar karena perburuan untung yang lupa diri dan serakah. Termasuk kepada aksi teror atau juga perang yang menciptakan kehancuran peradaban dan menistakan kemuliaan manusia.

Pada kekuatan cinta yang seperti ini, manusia akan merelakan dirinya terlibat menentang proses-proses yang menistakan sesama manusia dan menghancurkan kehidupan. Dalam sejarah, kita tahu demi menentang praktik penjajahan manusia atas manusia, generasi Soekarno-Hatta merelakan dirinya hidup dari satu pengasingan kepada pengasingan yang berikutnya. Mereka bukan tidak cemas dan takut, tapi memilih menghadapi dan melalui itu semua demi kemerdekaan rakyatnya.

Cinta seperti ini juga pernah diungkap oleh Sutan Sjahrir, sosok yang disebut Bung Kecil dalam zaman pergerakan kemerdekaan nasional. Sjahrir pernah ditanya mengapa ia mencintai Indonesia. Ia menjawab, "saya mencintai Indonesia karena rakyatnya, karena manusianya yang dibikin semena-mena oleh kekuasaan kolonial. Saya mencintai manusia yang hidup dan keberadaannya dibikin sekelas Underdogs, jelata yang tidak dianggap, dihinakan, disia-siakan."

Cinta seperti inilah yang sekiranya harus terus ditumbuhkan untuk Indonesia yang sedang dalam usaha bangkit dan menjadi salah satu poros penting di dunia terlepas siapa pun presidennya. Tentu saja, kita yang hidup hari ini tidak harus menjadi serupa-copy-paste generasi Soekarno-Hatta duhulu. 

Dari warisan mereka, kita mungkin hanya perlu belajar kembali bagaimana menggerakan kecemasan, rasa takut menjadi cinta yang aktif. Bukankah Republik ini dibangun untuk mengisi kemerdekaan hidup manusia, bukan untuk melanjutkan perbudakan kemanusiaan?

Jadi, saya tidak bilang telah menemukan-menumbuhsemai-kan "api cinta yang aktif" dalam keseharian hidup seperti para pendahulu. Fromm adalah salah satu yang sudah lama menulis soal ini, saya banyak meminjam padanya. Yang bagi saya penting ditegaskan selalu: kita perlu kembali berkaca pada sejarah dan melihat manusia bergulat menentang segala praktik-sistem yang menghancurkan kehidupan, meluaskan dehumanisasi, dan menginjak kemanusiaan yang mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun