Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cry To Me, Arsip Digital dan Belajar Sejarah

5 Februari 2016   01:22 Diperbarui: 5 Februari 2016   11:52 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Agar tahu diri, kita memang perlu berdiri di depan sejarah. Sejarah karya manusia, khususnya.

Sejak menyimak film Man From UNCLE yang di-rebooth dari serial televisi berjudul sama oleh Guy Ritchie, saya jadi terperosok dalam pesona lagu Cry To Me yang dinyanyikan Solomon Burke. Cry To Me disenandungkan dalam sebuah adegan ketika Gaby Teller setengah mabuk, menggunakan baju tidur dan kaca mata hitam dengan lensa yang besar dan berdansa di dalam kamar hotel. Gaby Teller yang diperankan oleh Alicia Vikander dalam adegan dansa setengah mabuk itu begitu menggemaskan.

Saya terus menjadi penasaran, tapi bukan pada sosok Alicia Vikander. Keterpenasaranan saya lebih pada Cry To Me, yang dinyanyikan dengan aransemen begitu enak di telinga dan segera saja menancap di hati (kayak patok aja). Demi mengurangi rasa penasaran itu, langkah berikutnya sudah bisa ditebak. Langkah yang sudah galib dilakukan dalam era digital ketika manusia kebingungan: googling!

Dari hasil googling itulah, muncul gambar yang perlahan terang.

Cry To Me dinyanyikan oleh Solomon Burke. Nama lahirnya James Solomon McDonald, lahir pada tanggal 21 Maret 1940 di Philadelphia, Amerika Serikat dan wafat pada usia 70 tahun. Pada situs wikipedia, Solomon Burke disebut-sebut sebagai a key transitional figure in the development of soul music from rhythm and blues. Albumnya yang bertitel Don’t Give Up On Me memenangkan penghargaan Grammy untuk kategori Best Comtemporary Blues Album di tahun 2003. Keterangan demikian sila baca di wikipedia.org.

Lirik lagu Cry To Me sejatinya sederhana saja juga tidak panjang dan berulang. Seperti inilah lirik lengkapnya :

When your baby leaves you all alone
And nobody calls you on the phone
Don't ya feel like cryin', don't ya feel like cryin'
Well, here I am honey, c'mon, you cry to me

When you're all alone in your lonely room
And there's nothing but the smell of her perfume
Don't ya feel like cryin', don't ya feel like cryin'
Don't ya feel like cryin', c'mon, c'mon, you cry to me

Nothin' can be sadder than a glass of wine alone
Loneliness, loneliness, such a waste of time, oh yeah
You don't ever have to walk alone, oh you see, oh c'mon
Take my hand, baby won't ya walk with me? Oh yeah

When you're waitin' for a voice to come
In the night but there is no one
Don't ya feel like cryin'
(Cry to me)
Don't ya feel like cryin'
(Cry to me)

[Lirik lagu diambil dari metrolyrics.com]

Tak ada yang terlalu filosofis dalam lirik di atas bukan? Terus, apa yang menarik?

Yang menarik adalah cara Solomon Burke menyanyikan bersama aransemen yang mengiringinya. Bila masih tidak percaya, coba saja dengarkan sendiri. Jika dicari padanannya, musisi Indonesia kontemporer yang menurut pendengaran amatir saya memiliki teknik menyanyi serupa pemilik julukan “The King of Rock N Soul” ini adalah Sandhy Sandoro.

Pertanyaan saya kemudian, bagaimana jika internet tak ada, tak ada fasilitas yang menyediakan arsip digital tentang siapa penyanyi Cry To Me? Apalagi kepada saya, yang sedang bermukim di pinggir sungai dan hutan serta bertetangga dengan hewan lucu bernama Bekantan?

Sangat bisa jadi saya hanya akan menikmati sejenis karya siluman, karya yang tidak pernah diketahui siapa pemilik suara di balik senandungnya. Walhasil, saya tidak tersambung dengan masa lalu, lepas dari sejarah karya dan hidup penyanyi-penyanyi besar.

Sebagai amatir-cum-awam, tentu saja saya tidak memiliki riwayat peneliti sejarah musik yang serius. Selain tiada memiliki kehendak dan kemampuan untuk itu, saya juga tidak memiliki cukup fasilitas, seperti perpustakaan dengan koleksi yang super lengkap yang memungkinkan saya bolak-balik menghabiskan waktu berjam-jam hingga berbulan dan bertahun hari seperti seorang Marx mana kala menulis Das Capital.

Dalam pengalaman lain, seperti menulis catatan film, saya juga banyak bersandar dari hasil selancar pada arsip-arsip digital yang menyambung pikiran ke banyak catatan tentang film yang baru saya tonton. Catatan yang diproduksi dari belahan dunia bukan sebatas dari Indonesia. Saya sedikit jadi tahu konteks sejarah yang melatar belakangi sebuah film, baik yang diadaptasi dari novel atau kisah nyata yang sudah terjadi jauh sebelum saya mulai mengeja abjad. Dengan begitu, menyusun catatan film jadi memiliki narasi yang sedikit lengkap.

Pada keterpesonaan terhadap senandung Cry To Me, sesungguhnya hubungan saya dengan musik adalah jenis hubungan yang tanpa judul. Misalnya saja saat ini sedang tergila-gila pada Cry To Me, besok kembali mendendangkan Last Kiss-Pearl Jam dan Unforgiven-Metallica [kok jadi terbaca sarat kegetiran ya?? Aiih]. Lantas pada lusa hari, kembali pada Titip Cintaku-Ona Sutra atau Kesaksian-Kantata Takwa juga Cinta Suci-Teresa Teng (kalau yang ini, saya tahunya gegara tulisan Mas Joko P dan juga pernah disinggung Bang Armand].

Sikap saya jelas: tidak perlu kaku, musik adalah soal merayakan nikmat pendengaran dan sesekali melayani suasana hati. Terhadap internet juga sama, ia salah satu fasilitas yang membantu menyediakan arsip digital dan bukan satu-satunya sumber rujukan.[Siapa juga yang nagih?]. 

Yang jelas, dari pengalaman menikmati lagu Cry To Me dan mengenali sekilas biografi Solomon Burke dengan menelusuri arsip digital lewat mesin pencari di internet, saya bisa belajar sedikit pengantar terhadap sejarah sebuah karya. Dengan begitu, seperti kalimat pembuka di atas: agar menjadi tahu diri, kita memang perlu berdiri di depan sejarah. Sejarah karya manusia, khususnya.

Begitulah juga adanya dialog saya terhadap Cry To Me-Solomon Burke. Barangkali dengan sedikit pengertian terhadap sejarah lagu dan riwayat hidup penulisnya ini, saya jadi tidak “ngasal” berselera. [Halaaah, sok menunjukkan sikap!].

Eh, mau tahu sedikit lirik Cinta Suci? Begini pembukaannya :

Bunga yang indah tak sering mekar,
begitu pula cinta yang suci
Susah dicari, susah dijalani

Cocok tak analoginya? Cocok kan? Nah, sudah bisa membayangkan betapa lembutnya hati Bang Armand atau Mas Joko P, fans berat Teresa Teng. Selera mereka tua tapi yakinlah, soal hati...(tanya sendiri)...

Segitu dulu. Selamat dini hari, salam JASMERAH!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun