Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Saya, Yanto Basna dan Papua

25 Januari 2016   09:07 Diperbarui: 9 November 2019   09:57 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Di turnamen Piala Jendral Sudirman 2016 ini, ada satu sosok yang memberi harap dan kebanggaan lanjutan.

Iya, ia memberi harap dan kebanggaan jika dari Tanah Papua selalu ada Mutiara Sepakbola. Dia adalah Rudolf Yanto Basna, pemuda kelahiran 12 Juni 1995, peraih penghargaan pemain terbaik sepanjang turnamen.

Pertama kali melihat perawakan dan caranya bermain, saya menyangka sosok ini pemain asing. Persangkaan salah sasaran ini menunjukkan dua hal, pertama, tidak lagi memantau perkembangan sepakbola paska sanksi FIFA yang membuat kabar dari Persipura menjadi tidak terpantau. 

Sebab bagi saya, sampai kapan pun, tanpa Persipura, sepakbola di Indonesia tidak menarik. #PrinsipSejakLahir, hehehe. 

Kedua, menunjukkan lemahnya pemahaman saya akan susunan marga di Tanah Papua yang memang sangat kompleks. Untuk susunan marga ini, umumnya di Papua terbagi dalam dua wilayah utama, pesisir dan pegunungan dengan penggunaan bahasa suku sekitar 250 anak bahasa, seperti kata George Aditjondro yang pernah lama meneliti di Papua.

Tapi mari kita bicara tentang Yanto Basna saja, bukan antropologi lingustik.

Dari Pandit Football, saya mendapat keterangan jika anak muda ini juga masuk dalam proyek SAD yang dikirim ke Uruguay dan masuk dalam skuad Tim Nas u-19 Indra Sjafrie. 

Cedera membuatnya harus istirahat tiga bulan dan menggagalkan keterlibatannya dalam turnamen resmi. Cedera yang membuatnya “hilang dari peredaran” dan kemudian menunjukkan bakat luar biasa itu di Piala Sudirman.

Selama melihat dia bermain di semifinal, Yanto yang juga mahasiswa ilmu olahraga ini sangat tenang dan disiplin menutup lubang di pertahanan. Selain berbadan tinggi, ia juga mahir melakukan tackle bersih. Kehadirannya membawa ketenangan. 

Saya jadi ingat pada sosok Aples Gideon Tecuari, yang bersinar awal tahun 1990an bersama timnas Indonesia. Aples yang memiliki tinggi badan 175 cm juga sosok yang tenang dan bisa menjadi pemimpin di pertahanan. 

Aples memang memiliki ilmu bertahan gaya Italia karena pernah terlibat dalam proyek sejenis SAD di negeri Pizza bersama Chris Yarangga. Aples sudah lama pensiun, menjadi PNS dan juga menekuni karir sebagai pelatih.

Sesudah era Aples, saya tidak menemukan tipe karakter pada generasi pemain belakang yang menghadirkan ketenangan. Ketenangan khas sosok-sosok dari Tanah Papua khususnya. 

Kemunculan Yanto Basna yang masih sangat muda kembali membangkitkan kebanggaan dan harapan ia akan terus bersinar seperti atau bahkan melampaui Kaka Aples. 

Paling kurang, untuk saat sekarang, Yanto bisa menjadi contoh bahwa usia muda dalam sepakbola tidak otomatis temperamental dan ngawur. Yanto boleh juga menjadi role model untuk pemain muda yang berani mengambil pilihan dan menjalani konsekuensinya secara sungguh hati.

Setuju sama Paulo Coelho yang bilang jadilah berani, ambil resiko, sebab tidak ada yang bisa gantikan pengalaman.

Tentang keberanian memilih dan menjalani segala konsekuensi ini perlu juga dilihat dari karir Yanto. Sejak muda, ia memilh merantau ke Pulau Jawa dengan meniti ilmu bermain bola di SMA Ragunan. Saya jadi ingat, dahulu juga pernah berkeinginan yang seperti Yanto.

Di Papua, sepakbola mungkin telah menjadi “agama” seperti di Brazil.

Di setiap kompleks perumahan, jika ada tanah lapang, selalu ada orang bermain sepakbola. Bahkan jika itu harus dimainkan di halaman sekolah, tanah kering atau jalan aspal. Saya salah satu yang merasakan main bola di halaman sekolah, halaman masjid dan jalan aspal. 

Sepakbola adalah aktifitas wajib setiap sore, tidak peduli hujan atau panas, tidak peduli kena batang beluntas setiap pulang selepas magrib.

Hingga SMP, saya selalu gembira main sepakbola di halaman sekolah. Seringkali juga memilih bolos dari jam belajar dan mengikhlaskan diri kena hukuman. Yang penting main bola coi, apalagi jika cewek yang dinaksir juga menyaksikan, rasa-rasanya Maradona juga kalah, hakhakhak.

Kala itu, Elly Aiboi, eks pemain Tim Nas Baretti dan Tim Nas Senior juga legenda Semen Padang adalah kakak kelas beda SMP yang kala itu sedang bersinar. Ia pemain asal salah satu SMP di Hamadi, Jayapura Selatan, yang sangat bersinar dan paling dinantikan saat turnamen antar SMP yang dikenal Taboria Cup. 

Saya ingat sekali kala itu Elly bisa membuat gol seperti George Weah, legenda AC Milan, ketika mendrible bola dari garis pertahanan sendiri hingga membuat gol. SMP saya di Abepura juga terlibat di kompetisi rutin antar SMP ini dan di zaman Elly muncul, kami tidak bersinar. 

Saya sendiri tidak pernah bisa menembus tim utama SMP karena memang pemain berbakat jauh lebih banyak. Tapi saya cukup senang karena bisa menjadi pemain utama di kelas, lumayanlah. Heuheuheu.

Sejak zaman Taboria Cup, saya sudah kagum pada Elly, yang belakangan saya baru tahu ketika ia makin bersinar, ternyata pernah diajari ayah. Zaman ketika Elly baru muncul, Aples Tecuari sedang bersinar dan menjadi idola baru. 

Saya jadi ingin seperti Elly, bisa main bola sampai ke negeri asing. Karena itu juga, saya memilih bergabung dalam klub sangat pra-amatir dan dilatih seorang guru asal Paniai. Di lapangan Trikora Abepura, tiga kali seminggu kami berkumpul untuk latihan.

Gara-gara itu juga, saya pernah memohon ijin pada Ayah untuk menjadi pemain sepakbola saja. Saya ingin ke Ragunan dan memulai hidup sebagai pemain sepakbola. 

Ayah saya tentu saja menentang keras, bukan karena nasib pesepakbola paska karir itu mudah mengenaskan, tapi karena alasan yang bikin saya sadar diri.

“Kamu itu tulangnya kecil, tubuh juga tidak tinggi. Kamu tidak sama dengan anak-anak Papua. Mereka kekar, tulangnya bagus.” Katanya saat itu, padahal beliau guru matematika.

Hati saya hancuuuur-remuk seketika. Ngambek seminggu bro! Tapi ayah saya jelas benar, "matematika sepakbolanya" tepat, hidup saya bukan sepakbola namun hati saya selalu untuk Persipura...aaakh... I Love U Full, Papua!!

Yang saya mau bilang adalah harap pada sepakbola begitu tinggi di Papua. Bahkan dalam rekomendasi penelitian LIPI pada buku Roadmap Papua, sepakbola dapat menjadi wahana untuk membangkitkan harga diri dan kebanggaan manusia Papua yang terposisikan marginal di tengah tanahnya yang kaya. 

Sepakbola bisa men-subyektivasi-manusia Papua, subyek yang dibutuhkan untuk membangun semangat kebangsaan baru Indonesia. Tentulah dengan kebijakan keadilan dan pemerataan yang teguh serta mengutamakan dialog ketimbang pendekatan militer.

Dalam semangat itu, Yanto Basna bagi saya adalah contoh anak muda Papua yang kini muncul dan menegaskan pesan bahwa sepakbola boleh menghidupkan terus kebanggaan diri sebagai manusia Papua juga manusia Indonesia, ia bukan sekedar olahraga atau prestasi. 

Yanto jelas bukan yang terakhir sebagaimana sesudah era Aples, pasti muncul lagi bakat-bakat mengkilap baru. 

Pemerintah seharusnya sungguh menjaga ini, bahwa olahraga harus menjadi kebanggan bangsa. Pemerintah dan pemangku kepentingan dalam sepakbola harus selalu sadar, harap juga talenta anak-anak muda dalam sepakbola jangan sampai berhenti mekar sebab konflik berlarut di organisasi sepakbola seolah saja konflik perebutan kepemimpinan organisasi politik. 

Kecuali memang kita setuju sepakbola telah menjadi politik itu sendiri.

Jepang yang merintis jalan lain modernisasi Non Barat itu juga membangun sistem sepakbola yang baik, kini Cina yang ikut mengatur dunia pun melakukan hal yang sama. Mereka juga membangun superioritasnya di olahraga, sepakbola salah satunya. 

Jika kita Indonesia punya mimpi mengatur dunia, jangan bikin gaduh dunia olahraga dengan konflik seperti dunia politik.

Akhir kata, kita doakan agar segala konflik organisasi sepakbola segera saja selesai. 

Banyak anak muda seperti Yanto di Indonesia yang tidak boleh dihancurkan mimpinya untuk memberi bangga dan harap bagi Indonesia lewat sepakbola.

Semoga.

***

Sedikit tentang Yanto Basna bisa baca di panditfootball.com

Foto: IWAN SETIAWAN/JUARA.net

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun