Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Daya Pukau Sinetron dan Permainan Kuasa Tontonan

21 Januari 2016   10:10 Diperbarui: 21 Januari 2016   17:16 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi jangan lekas-lekas mengatakan dalam “permainan kuasa tontonan-penonton” yang seperti itu penonton hanyalah obyek pasif seolah kertas putih yang ditulis suka-suka oleh kepentingan industri sinetron. Saya rasa tidak juga, sebab kemunculan masyarakat fans yang terkonsolodir itu sendiri menyiratkan sebuah pemujaan yang aktif, cinta yang serius. Aktivisme seperti ini bisa kenyal bertahan menemani pergantian warna rambut.

Jadi maksud saya, era sekarang era yang hidup dalam satu sinetron ke sinetron yang lain. Jenuh sinetron Indonesia, diimpor sinetron India. Belum lagi penuh sinetron India di dalam kepala, dijual lagi sinetron Turki. Sementara di dalam rumah, sinetron yang berjibaku mabuk antara kelatahan kelas menengah dan keengganan melepaskan diri dari penjara mitologi masa lalu,hal yang masih berulang terjadi. Tinggal kita saja menjalankan permainan kuasa seperti apa.

Orang dewasa tentulah mengambil peran di depan untuk mengontrol jenis dan jam tayang. Masalahnya tidak semua orang dewasa menyadari arti "peran di depan" dalam mengatur permainan kuasa itu. Kalau bukan malah menjadi bagian paling depan yang termehek tegang di depan sinetron. Anak-anak bahkan dibujuknya ikut serta sekali pun harus terkantuk lemas seperti boneka kehabisan batre tapi diajak berimajinasi terus, kasihaan. Kelakuan orang dewasa yang kayak begini memuat arti dari kalimat pembuka tulisan di atas sana. 

Eeeiits, tapi mohon jangan lupakan, tidak semua sinetron itu buruk rupa, penonton dibelah! Kuasa tidak selalu berkawan kegelapan, jangan putus asa dulu kawan.

Saya sendiri tidak sepenuhnya telah bebas dari “kolonisasi sinetron”. Sinetron pernah bermakna buat saya, khususnya ketika Vonny Cornelia dan Maudy Koesnadi masih sering muncul di layar televisi di tahun-tahun awal sesudah Soeharto pergi. Tahun-tahun di mana televisi swasta masih berusia muda dan tidak semua keganjilan bisa memiliki harga tayang.

Maka, sesudah penggambaran bacaan di depan sinetron itu, dan jika Anda membaca yang sama, bisakah kita berujar, beranikah hidup tanpa televisi? #ups

Selamat pagi, Salam!

***

*). salah satu lirik dalam lagu Iwan Fals, saya lupa judulnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun