Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makan Siang, Impor Selera dan Kesederhanaan

18 Januari 2016   16:04 Diperbarui: 18 Februari 2020   13:19 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Siang Sederhana | Dok. Pribadi

Ketika kemarin memakan kesederhanaan, saya seolah melihat globalisasi selera yang berhenti, ia turun kasta menjadi selambat jukung, bukan juggernaut. Tapi bukan berarti saya juga sedang melihat usaha tandingan dalam lingkup kecil yang dipilih secara sengaja untuk mengampanyekan bahaya dan menyerukan perlawanan terbuka atas import selera.

Tidak. Itu semua terlalu serius, ia hanya bergemuruh dalam dunia yang serba melek huruf, pada dunia dengan televisi yang menyala 24 jam, jaringan internet yang stabil dan dunia yang berjibaku wacana. 

Tidak di tempat seperti ini, ketika menyuci beras dan sesayuran serta membersihkan ikan masih bersandar pada kebaikan musim dan kasih sayang alam. Sementara saat yang bersamaan masih menyaksikan tayangan televisi yang sama dan guru-gurunya tidak cukup bertahan mengajar dengan segala keterbatasan.

Saya hanya merasa melihat kesederhanaan telah menjadi barang langka. Seolah saja ia sesuatu yang pernah ada lalu terancam musnah dan kini hendak dikonservasi kembali. 

Seolah saja ia seperti cahaya pembebasan yang kerlapkerlip di bawah kegelapan konsumeritas dan gaya hidup. Seolah saja kesederhanaan adalah kemerdekaan yang ikut dibawa pulang ke rumah tuan-tuan kolonial.

Saya juga tidak yakin kesederhanaan yang mengisi perut siang kemarin akan selalu mengada secara sadar dan bertahan secara tangguh ketika jalan-jalan raya mulai dibuka, tiang-tiang listrik mulai merata dipasang, malam-malam mulai benderang, pertokoan mulai digalakkan, dan jejaring import selera itu mulai mengambil kaplingnya pelan-pelan dan pesat. 

Saya merasa selama ini kesederhanaan memang harus ada karena tersisa itu yang tersedia dimana keterbatasan dan kemiskinan adalah irama sehari-hari yang sudah normal kalau bukan banal.

Tampaknya laku kesederhanaan memang harus diuji dalam segala ruang dan lapisan, lebih khusus ketika kemampuan mengonsumsi makin naik kelas dan keberlimpahan fasilitas konsumsi makin merata.

Karena kesederhanaan itu sendiri kini sudah susah dibedakan antara sikap dan siasat.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun