Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenali "Dua Bahasa" dalam Cerpen

8 Januari 2016   16:18 Diperbarui: 26 November 2019   12:04 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

DesoL tidak memberikan “moral atau kebenaran baru”, tapi sesudah didobraknya, ia malah membuang itu seolah daging yang sudah terkoyak dimana-mana. Rasanya seperti itu, saya hanya curiga saja.

Sementara itu, Sarwo Prasojo, yang menjaga diri dari polusi cita rasa urban-megapolitan dalam bercerpen, adalah salah satu saja yang sedang merawat bahasa Darstellung, bahasa deskripsi yang membawa pembacanya merenung dan menimbang. 

Saya akan coba menunjukkan itu.

Kisah Jumali dan Karsiem yang ingin terlibat dalam keramaian pesta akhir tahun di alun-alun kabupaten adalah kehendak yang marak tumbuh meray-rayu dalam sanubari banyak manusia, khususnya orang-orang kecil. Hidup setahun yang penat diharapkan dalam sejenak terhalau dengan menikmati keramaian itu dari atas selembar kain sarung dan jagung rebus.

Secara sosiologis, kehendak menikmati keramaian ini bisa dimaknai sebagai kehendak terlibat dalam konsumsi kolektif, yakni ketika orang-orang desa yang berada di pinggiran memaksa diri ke kota untuk menikmati juga fasilitas yang ada di perkotaan, baik pendidikan, kesehatan, atau fasilitas kesenangan. 

Jika tak salah, teori kehendak konsumsi kolektif ini dalam sosiologi perkotaan dicetuskan oleh Hans Dieter Evers ketika ia mengeritik teori penyebab urbanisasi.

Sarwo juga sedang memotret ketimpangan ekonomi-budaya dan menghadirkan itu kepada kita secara lembut bersama narasi kemesraan yang sederhana sekali (boncengan sepeda). Ia menunjukkan sebuah kehendak sederhana yang tumbuh di dalam banyak jiwa manusia pinggiran sekadar untuk menikmati itu sementara di kota-kota, mereka yang lebih beruntung sibuk membakar uang dan pesta hingar bingar di pub atau diskotik hingga lupa diri. 

Kehendak sederhana manusia pinggiran inilah sebuah cerita yang tersisa di malam jelang tanggal 1 januari, tidak penting perayaan tahun baru itu secara moral benar atau salah bukan?

Tapi apakah sampai disitu saja?

Tidak. Sarwo dalam penutupnya sebenarnya sedang menghadirkan dua jenis pemaknaan atas tahun baru. 

Pemaknaan yang hadir dalam mimpi Jumali dan Karsiem. Jumali bermimpi pada malam tahun baru ia boleh meraup banyak rupiah sementara Karsiem bermimpi ia telah naik kelas, memiliki smartphone touch screen, minuman soft drink, dan berselfie ria. Dua jenis pemaknaan yang menunjukkan dua jenis motif yang tumbuh subur dalam ruang batin jelata yang berharap keluar dari kesulitan (kemiskinan) harian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun