Dalam ulasan yang berjudul Konstruksi Sosial ala Putu Wijaya, Ignas Kleden menuntun saya mengenali dua jenis bahasa dalam bercerpen. Selain Ignas Kleden, ada satu lagi ulasan atas novel Putu Wijaya yang dibuat oleh Goenawan Mohamad yang bisa dijadikan sebagai perbandingan.
Naskah Konstruksi Sosial ala Putu Wijaya saya dapatkan dari seorang kawan yang pernah bekerja dengan Ignas Kleden.Â
Karya tersebut berupa soft file yang di-copy lalu saya memintanya. Saya sudah mencarinya di google tapi belum menemukan alamat link yang pernah mempublis. Barangkali juga sudah diterbitkan dalam bentuk buku, namun saya belum juga membacanya.Â
Jadi sebelumnya saya meminta maaf jika menggunakan sumber rujukan yang belum dipublis dalam tulisan ini, khususnya kepada pemilik ulasan.
Sebagai pengingat awal, saya sendiri belum pernah membaca karya-karya Putu Wijaya. Karena itu juga tidak bisa mengonfrontir bacaan saya atas ulasan Ignas Kleden dan bacaan saya atas karya Putu Wijaya.Â
Saya hanya sebatas menuliskembali pembacaan Ignas Kleden dalam memaknai satu karya cerpen atau novel. Barangkali saja ada sedikit guna dalam menikmati karya para Fiksianer atau memberi sedikit ketertarikan untuk mencoba menulis cerpen.
Apa jenis bahasa dalam cerpen yang dibedakan oleh Ignas Kleden?
Ada dua model bahasa atau katakan saja modus bertutur. Dua model bahasa ini dipinjam Ignas Kleden dari psikolog Charlote Buehler.Â
Pertama, jenis Darstellung, yakni bahasa deskripsi, lukisan, pemerian yang banyak memberi kita waktu menimbang dan merenung. Sedangkan kedua, jenis bahasa Appel atau appeal, (bahasa) yang dengan tegar meminta pembaca mengambil sikap, terus terlibat atau berhenti terlibat dalam teks-teks tersebut.
Dalam penegasan Ignas Kleden, dua bahasa ini terbedakan karena (yang pertama) suatu deskripsi menunjuk hubungan bahasa dengan obyek yang ditunjuknya. Sedangkan suatu appeal menunjuk hubungan bahasa dengan lawan-bicara atau pembaca (hal 1).
Persisnya seperti apa membedakan dua model bahasa dalam cerpen itu?