Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Genre “Sejarah Romantis” dalam The Japanese Wife

28 Desember 2015   09:32 Diperbarui: 28 Desember 2015   11:06 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesalahan Sneha, jika boleh bilang begitu, adalah keragu-raguan yang tumbuh di samping cinta dan harap untuk Miyage. Sneha pernah ingin ke Jepang, apalagi ketika datang surat yang bilang Miyage sedang sakit itu, tapi ia meragu. Pikirannya terkurung oleh batasan georgrafi, atau mungkin juga karena gaji guru di SMP tidak terlalu bisa memodali. Ternyata, Sneha yang dipilih duluan oleh kematian, karena gigitan nyamuk pembunuh.

Di akhir kisah, Miyage, dengan kepala plontos dan pakaian serba putih (pertanda status janda seorang Hindu), datang mencari Sneha sesudah menerima kabar memilukan yang dikirim dalam surat oleh warga desa. Warga desa yang kehilangan seorang guru aritmatika yang jarang membuat kekeliruan, seorang sarjana yang pulang ke desa dan satu-satunya yang beristri orang asing. Kunal Basu memilih tidak menyipatakan happy ending, ia membuat pembacanya menikmati kesetiaan mengharukan melalui surat menyurat yang tidak tersekat oleh keterbatasan teknologi komunikasi dan kurungan geografis-kultural.

Selain itu, hal lain yang terjadi pada saya--dan ini juga bagian yang penting-- adalah profesor Kunal Basu membawa ingatan mengenang lagi sebuah proses berkomunikasi dalam sejarah yang kini lambat-lambat akan masuk museum sejarah pos, hiks, hiks. 

Persisnya, The Japanese Wife membuat saya merindukan lagi menulis surat, melipatnya, memasukkan di amplop, menempeli perangko dan mengirimnya lewat kantor pos. Lalu menunggu surat balasan datang, menerima, segera masuk ke kamar, duduk sendiri, dan membaca tiap kata-kalimat-paragrafnya pelan-pelan. Sesudah itu, segera mempersiapkan balasannya lagi dan bergegas pergi ke kantor pos. Dan kembali menunggu balasan surat yang baru, dengan surat-surat yang lama akan dibaca kembali sembari setiap hari menanyakan sudahkah ada balasan pada pak pos yang keliling.

Surat menyurat manual memang melatih sabar menunggu bukan saja setia membalas. Ia “mendidik” untuk tidak terburu-buru dan lekas-lekas membalas, membiasakan orang untuk memaklumi keterbatasan kondisi bersama harap dan ragu yang bergulat. Termasuk terhadap kabar-kabar duka, kematian dan bencana di zaman seperti itu. Ini mungkin cita rasa yang hilang dan diingatkan lagi oleh Kunal Basu di tengah dominasi jenis komunikasi dimana kecepatan menjadi tenaga dorong utama.

Selain juga, menulis masa lalu dunia manusia dalam bumbu romantisme yang sunyi melalui cerpen mungkin salah satu tema garapan yang dimaksud dengan fiksi bergenre sejarah romantis itu. Dalam romantika demikian, juga terselip pesan bahwa manusia haruslah merawat asa dan rasa mereka dalam situasi keterbatasan tanpa kenal menyerah. Sebuah pesan yang senada dengan bait puisi Mbah Sapardi Djoko Damono, yang fana adalah waktu, kita abadi!

Tertarikkah?

Belilah kawan, jangan sekedar meminjam dan tidak kembalikan (terlaluuu..., hahaha). Di buku Kunal Basu ini, ada beberapa cerita pendek lain yang mungkin perlu dipelajari agar boleh melihat apa yang disebut fiksi dengan genre sejarah romantis. Barangkali juga dengan membaca ini, para pegiat fiksi di Kompasiana bisa beroleh sedikit inspirasi dari cara menulis cerpen Kunal Basu. Yah, paling tidak, dengan membaca buku, jika patah hati, fiksianer jangan lekas-lekas mengancam bunuh diri! (weeks..)

Sudah dulu ya kawan, terimakasih sudah membaca sampai selesai. Rasanya ingin menulis surat lagi. Ada yang mau dikirimi surat?

Selamat pagi, Salam!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun