Akan tetapi sumber penghormatan terbesar saya adalah kepedulian dirinya menulis lagi kisah-kisah wayang dan keris. Saya tidak bisa mengurai satu-satu tulisannya tentang wayang dan keris karena membaca tentang dua tema ini membawa saya pada ketidaktahuan luar biasa, persis seperti membaca tema-tema teknologi terapan di Kompasiana.
Membaca wayang dan keris membuat saya tahu diri, saya hanyalah seorang pemula yang awam lagi buta. Dan Jati Kumoro membantu saya belajar mengenali sisi yang lemah itu melalui pergaulan tulisan di rumah Kompasiana dimana sangat sedikit K’ers yang berminat pada narasi sejarah.
Awalnya, sebelum Jati Kumoro mempublikasi artikelnya ketika berkunjung ke situs purbakala di Sangiran, saya menduga sosok di balik akun berprofile-picture kucing warna mermud itu sudah sepuh.
Ternyata oh ternyata, sosok itu seperti pinang dibelah pisau dengan Ebiet. G Ade, heuheuheu, makin salut wis!
Sosok yang selama ini sesekali menceritakan kisah pewayangan secara kikir adalah ayah saya sendiri, seorang Jawa yang kembali “belajar Jawa” sebab hampir setengah hidupnya dilewati menjadi manusia Papua.
Mendengar cerita ayah seringkali saya nikmati secara sambil lalu dan hanya terjadi ketika kami sedang berkumpul. (Ironisnya, Jawa adalah rumah leluhur-budaya dari garis Ayah yang seharusnya didalami dengan benar,sementara bahasa Jawa ngoko saja saya gagap, wadoow!).
Tulisan tentang wayang dan keris Jati Kumoro memang belum membuat saya faham seutuhnya, walau begitu ini membantu saya “mengeja” pelan-pelan.
Untuk kebutuhan belajar budaya ini, saya sungguh merasa terbantukan sebab saya adalah pelaku diaspora Nusantara --(istilah untuk mengeren-ngerenkan diri sendiri demi menghalau galau karena rencana diaspora ke luar negeri gagal terus,hiks. hiks).
Dalam kesadaran subyektif saya "baru hidup" seorang Papua, seorang Maluku, dan seorang Sulawesi, tiga lokasi kebudayaan dimana saya banyak menghabiskan waktu belajar.
Saya masih membutuhkan belajar Jawa dan Kalimantan, lokasi budaya yang kini sedang saya hidupi, untuk menyempurnakan puzzle keIndonesiaan dalam diri sendiri.
Anda boleh bilang ada teks yang berjumlah ribuan atau bahkan jutaan tentang sejarah kerajaan, wayang dan keris yang ditulis oleh para ahli di luar sana dengan kajian yang mungkin lebih kompleks, tapi bagi saya tulisan seorang Jati Kumoro tetaplah sebuah bantuan yang saya butuhkan, lagi pula gratis. Hahaha.