Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaki Tangan

16 Desember 2015   08:19 Diperbarui: 16 Desember 2015   10:20 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Burung besi ini sebentar lagi membawa rinduku menyapamu, menyapa masa lalu kita.

Masa lalu yang tumbuh terseok di halaman depan sebuah kos-kosan berlantai papan. Kos-kosan yang menemani melewati malam dan siang dengan makan di selembar daun pisang, dari duit yang dikumpulkan bersama. Melewati malam dan siang dengan gitar dan kisah-kisah kesaksian, meyakini pilihan dan menjaga harapan. Waktu dan kesibukan tiada boleh mendinginkan persaudaraan.

Empat jam  berlalu, akhirnya aku melihat puncak Gamalama itu. Ah, tanah rempah-rempah yang menjadi lokasi sejarah pertikaian bangsa-bangsa Eropa. Tanah rempah-rempah yang menjadi saksi dari perjuangan dan pengkhianatan. Tanah rempah-rempah yang juga pernah bersimpah darah dari perang saudara ketika penjajah sudah pulang ke rumah.

“Ceritakan tentang kemiskinan Jakarta,” pintamu sesudah jabat tangan hangat. Matahari sedang naik setengah putaran.

Aku diam sebentar. Melihat posturku yang kini sedikit gondrong dengan perut pelan-pelan membuncit, mungkinkah kau berpikir aku sedang bergelimang mapan?

“Aku belajar hidup disana..bukan sedang belajar ka..”

“Ya, aku mengatakan itu jika ada yang bertanya dimana dan sedang apa dirimu.” potongmu lekas-lekas.

Haaah. Syukurlah.

“Kemiskinan Jakarta telah membanting banyak dari cara pandangku. Ia tidak membuangnya, ia memperbaikinya. Ia melengkapi gambarku tentang hidup bertahan sebagai manusia pinggiran.”

Lalu ceritaku mengalir ke perjumpaan-perjumpaan yang mengharukan. Tentang orang-orang tua yang bingung melihat kemajuan. Tentang anak-anak muda yang bingung dengan kenyataan. Tentang perempuan-perempuan yang merawat generasi dari jajanan berbahaya. Tentang tanah dan pekuburan yang tumbuh menjadi supermall dimana suka. Tentang tangan-tangan yang masih berjalan dan tak henti mengawetkan penaklukan demi keuntungan.

“Seharusnya aku menyiapkan ruang berdiskusi, agar kau boleh berbagi kesaksian dengan generasi yang hari ini hilir mudik di kampus.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun