Ya, aku tahu itu.
“Tapi itu dengan menghancurkan semua kerja baik yang aku susun bertahun-tahun. Hanya untuk tampil mentereng dan wah, haruskah menghancurkan semua kebahagiaan kecil yang merawat keyakinanku?”
Hening. Segala menjadi bening.
“Apa yang kau cemaskan?”
“Kehancuran pelan-pelan. Sebuah kehancuran yang rapi, lembut, tersembunyi. Kehancuran yang dikerjakan kaum intelegensia dan disembunyikan media massa.”
“Sebab apa?,”tanyaku. Gundahmu berkata-kata juga akhirnya.
“Bukan karena letupan gunung Gamalama. Bukan karena gempa dan gelombang tsunami. Ini kehancuran yang berjalan karena operasi-operasi canggih yang mengapling sumberdaya alam, menarik surplusnya, menciptakan keterbelahan pro kontra warganya, dan tertawa sinis di balik panggung pertunjukan konflik dan polemik. Kekuatan-kekuatan trans-nasional itu sudah selesai membuat peta, mereka sedang mencari pintu masuknya, sedang membentuk unit-unit marsosenya.”
Sejarah berulang. Petaka terbayang. Kau pasti bertahan seperti yang pernah.
“Mari kita makan, sebelum hal indah ini tinggal kenangan.”
Ada nasi putih dan ikan asin serta sambal colo-colo kegemaran sejak zaman kos-kosan dulu di meja kayu dengan taplak yang telah sobek di tengahnya.
..Segera balik ke hotel, harus ketemu ring satu Bupati, ada “mangga” yang harus diantarkan. Segera, demi mempercepat ijin eksekusi kampung yang menolak tambang kita...
Sms itu masuk ke hape lawasku. Aku menatapmu.
Guruku, kau sedang berbagi gelisah dengan marsose baru.
***