Ilustrasi dari latesttopnewsnow.com
Keserakahan yang kukuh bersama kekayaan yang tidak puas diri adalah jalan masuk bagi tragedi dan kehancuran!
***
In the Heart of the Sea ini berlatar tahun 1821 dan berakar dalam pengalaman bangsa Amerika Serikat memburu komoditas.
Dalam perburuan itu ada kuasa kecil kaum saudagar yang membiayai ekspedisi, cerita konflik di dalam kepemimpinan kapal, dan malapetaka yang harus dihadapi di tengah laut yang ganas dan tidak dipahami. Namun yang diburu bukanlah rempah-rempah tetapi minyak sebagai bahan bakar yang ketika itu disuling dari tubuh ikan paus. Ini kisah dari sebuah era sebelum ditemukannya minyak yang ditambang dari dalam perut bumi.
Sinopsis Film
Film dimulai dengan datangnya Herman Melville (Ben Wishaw) yang menemui salah satu saksi hidup, Thomas Nickerson (Tom Holland) misi ambisius Essex yang karam itu. Nickerson saat kejadian naas masih berusia remaja. Cerita Nickerson inilah yang menginspirasi novel klasik berjudul Moby Dick, terbit tahun 1851.
Selanjutnya, alur film yang berdurasi 121 menit ini didominasi kesaksian Nickerson dan sesekali pertanyaan Melville:
Dikisahkan segelintir saudagar menyepakati untuk mengirim satu ekspedisi memburu paus dengan menggunakan kapal bernama Essex. Maka diputuskanlah kapal itu akan dipimpin oleh awak yang sudah berpengalaman dimana orang-orangnya memiliki kode tulang ikan paus yang dibuah seperti lencana di baju mereka.
Salah satu yang berpengalaman adalah Owen Chase (Chris Hemsworth). Ia adalah seorang pelaut muda yang sudah tersohor sebagai salah satu yang terbaik dalam perburuan minyak paus. Karena pencapaiannya itulah ia memiliki ambisi menjadi kapten kapal yang kelak boleh memimpin satu ekspedisi.
Namun, karena Owen bukanlah seorang turunan bangsawan, maka posisinya diambil alih oleh Gerard Pollard, Jr (Benjamin Walker), seorang muda yang ditunjuk sebagai kapten karena mewarisi darah bangsawan. Owen tentu sangat kecewa namun ia dibujuk agar tetap mengambil bagian dengan syarat jika bisa membawa pulang 2000 ton minyak ikan paus, ia boleh menjadi kapten pada ekspedisi berikutnya. Owen setuju dan ia diberi jabatan sebagai kelasi kelas satu.
Selanjutnya, mereka kemudian berlayar dengan menyimpan api konflik antara Pollard dan Owen memimpin awak kapal. Pada perjumpaan pertama, mereka sukses mendapat minyak dari dua ikan paus. Karena gairah memburu minyak karena target dan iming-iming keuntungan serta nama besar, mereka melanjutkan perburuan hingga ke perairan ganas yang tidak mereka kuasai wataknya. Hanya dari kesaksian seorang pelaut Spanyol yang selamat, mereka memutuskan untuk mencoba peruntungan takdir di sana, di perairan Pasifik Selatan.
Perkembangan berikut yang sudah bisa ditebak adalah datangnya malapetaka, kehancuran dan kematian.
Perairan yang diceritakan pelaut Spanyol itu memang sarat dengan ikan paus. Dengan kata lain, ada pundi-pundi keuntungan dan nama besar jika berhasil menaklukannya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kapal mereka hancur terbakar oleh serangan satu ekor ikan paus besar yang memiliki tubuh sarat dengan luka tombak. Dari jejak lukanya itu, paus tersebut ternyata sudah memiliki track record bertarung dengan para pemburu paus.
Adegan berikutnya adalah tentang survavilitas di tengah laut dalam sekoci-sekoci yang bersandar pada pola angin dan arus selama 90 hari. Kisah survavilitas yang sangat mengenaskan dimana dalam usaha bertahan itu mereka harus menjadi kanibal atas rekannya yang mati. Bahkan di sekoci kapten Pollard, mereka harus saling mengundi untuk memutuskan siapa yang mati (dengan menembak pistol ke kepala mereka) demi menyelamatkan hidup yang lain.
Mereka yang tersisa dalam dua sekoci akhirnya bisa pulang ke Amerika Serikat sesudah ditemukan terdampar di perairan Chile, Amerika Selatan. Kepulangan mereka tidak lagi disambut oleh warga kota secara meriah sebagaimana ketika mereka dilepas dalam doa-doa. Owen dan Pollard bersama beberapa awak akhirnya bisa berkumpul dengan keluarga, termasuk si bocah yang menuturkan kembali pengalaman getir ini kepada si pembuat novel.
Masalah selanjutnya adalah melaporkan kisah karamnya kapal Essex kepada para penyandang dana (pemodal dan bangsawan). Para penyandang dana ini menghendaki kisah karamnya Essex dan perburuan serakah yang gagal total itu direkayasa sebagai kisah karam karena menabrak karang dan bukan oleh serangan paus. Rekayasa ini penting untuk menjaga kestabilan ekonomi dan dominasi mereka kala itu. Tampaknya sumber kekhawatiran mereka kalau kisah sesungguhnya yang terbongkar maka mereka bisa menjadi tertawaan pesain yang lain.
Tapi Chase dan Pollard menolak berbohong. Dalam sidang pemeriksaan, Pollard menceritakan yang sesungguhnya. Ia melawan status kebangsawanannya sendiri dan kehendak kaum penyandang dana.
Catatan
Pada film In the Heart of the Sea (selanjutnya disingkat ITHTS, 2015), yang disutradarai Ron Howard, kita bisa mengonfirmasi sedikit paralisme kisah sejarah dengan kisah yang dibahas Giles Milton. Kisah sejarah dari perburuan rempah-rempah bangsa Eropa yang diwakili Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris ke Timur Jauh sebagaimana dinarasikan Giles Milton dalam buku Nathaniel’s Nutmeg (1999) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pulau Run, Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan (Alvabet, 2015). Proses konformasi ini memang dimungkinkan karena film ITHST juga diadaptasi dari buku Nathaniel Philbrick‘s (2000) yang berjudul In the Heart of the Sea: The Tragedy of the Whaleship Essex?.Â
Dalam bukunya, Milton menceritakan kehancuran pelaut dan kapal-kapal Inggris yang dipicu oleh gairah memburu untung besar dari komoditas seperti pala, cengkeh, kayu manis,dll yang berada di perairan beriklim tropis khususnya Indonesia di masa-masa awal sekitaran tahun 1553. Keputusan-keputusan yang melayani perburuan ini disetir oleh kelompok saudagar dan elit bangsawan yang dibalut dengan kepercayaan pada cerita-cerita bercorak mitos tentang komoditas rempah-rempah tersebut dan lemahnya pengetahuan akan pelayaran ke wilayah Pasifik.
Cerita Milton menandai satu era yang disebut juga dalam sejarah ekonomi sebagai kapitalisme merkantilis. Sebuah era dimana proses akumulasi modal dilakukan dengan monopoli perburuan dan perdagangan komoditas berharga sangat mahal. Sebuah proses monopoli komoditas yang dikendalikan oleh korporasi dagang yang dibackup oleh kekuatan militer dan keputusan-keputusan politik ratu atau raja yang kemudian melahirkan kolonialisme hampir merata di seluruh penjuru dunia.
ITHTS juga merekam spirit ekonomi kapitalisme merkantilisme yang sejenis dengan yang digambarkan Milton. Spirit kapitalisme merkantilis yang melahirkan malapetaka dan tragedi, bukan saja di tanah dan rakyat jajahan namun juga bagi bangsanya sendiri.
Dalam catatan saya, paling tidak ada dua pesan menonjol dari film yang menunjukkan "kritik moral terhadap kapitalisme merkantilis" itu :
Pertama, film ini menunjukan bahaya dari ambisi, keserakahan, dan perburuan keuntungan dalam sebuah zaman dimana industrialisme belum berkembang baik, zaman kapitalisme merkantilis. Ini juga tentang keserakahan yang dikontrol oleh segelintir orang penyandang dana yang mengatur dan menikmati hasilnya dari ruang-ruang tertutup. Gairah dan ambisi serakah yang tidak mengambil pusing dengan ancaman malapetaka yang mendera awak kapal.
Kedua, film ini juga berpesan kalau cerita sesungguhnya (obyektif) tentang tragedi dan malapetaka tidak boleh disenyapkan oleh tekanan kepentingan ekonomi politik dari segelintir orang yang serakah. Pengalaman melewati tragedi bukan saja menjadi pembelajaran tetapi juga penghargaan terhadap mereka yang merelakan mati demi menyelamatkan yang lain agar tetap hidup. Singkat kata, sejarah tentang tragedi tidak boleh menulis dirinya dalam kebohongan demi menjaga kepentingan dan reputasi segelintir manusia yang bersyahwat memburu untung tiada ujung.
Agak keluar konteks, bagi saya, film dengan latar belakang sejarah maritim pun kritik atas moralisme ekonomi seperti ini sudah harus menjadi garapan serius insan perfilman di Indonesia. Tegasnya, dimasukan sebagai salah satu fokus pengembangan industri kreatif berbasis industri film dari negara dan pelaku swasta. Pertimbangan jangka panjangnya adalah memperkuat kesadaran sejarah dan budaya sebagai negeri dengan masa lalu narasi maritim yang sangat kuat turut.
Termasuk juga pertimbangan ikut memperkuat konstruksi soft power negara Republik Indonesia. Jepang sudah melakukan ini dengan menggunakan, salah satunya, popularitas kartun Doraemon dalam diplomasi politiknya secara internasional demi kepentingan menjaga "hegemoni mereka" di Asia. Sama juga dengan Cina yang dalam menjual filmnya tidak mengabaikan latar belakang budaya dan filosofis dalam cerita perang atau silat-silatan.
Karena mereka memang berkehendak "mengatur dunia", bukan sekedar pemandu sorak.
Mungkinkah?
***
Referensi
1. Informasi tambahan film In the Heart of the Sea, bisa baca  di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H