Di antara maraknya sinetron import dari Turki dan India, masyarakat penonton di Indonesia disajikan “drama politik” berjudul #PapaMintaSaham. #PapaMintaSaham adalah drama yang belum diketahui siapa sesungguhnya sang dalang, sutradara, dan penulis skripnya. Semuanya masih misteri.
Di luar para pemain drama #PapaMintaSaham itu, tetiba saja lahir banyak pengamat. Pengamat jenis sekolahan yang hidup dari mendagangkan komentar bukan menulis buku atau melakukan riset serius untuk pengembangan keilmuan. Dan juga, lahir pengamat amatiran yang setiap pemilu datang memilih dan setiap sesudah pemilu makan hati tapi tak penah benci dengan politik.
Dalam drama politik dan pertumbuhan pengamat-pengamat itu, entah mana yang sedang berdiri di jalan yang benar dan bisa dipercaya. Yang jelas, hidup sejujurnya sederhana saja, yang rumit adalah tafsir-tafsirnya, seperti kata Mbah Pramoedya.
Begitulah juga adanya yang terjadi di sebuah kampung padat perkotaan di salah satu sudut Indonesia Raya.
***
Johan pagi itu sedang menyiapkan dagangannya.
Ia telah menjadi penjaja pentol goreng sejak 5 tahun terakhir yang keliling ke sekolah-sekolah. Pekerjaan seperti ini adalah pilihan yang mundur tapi mau apalagi, menjadi bandar judi ketangkasan yang memutar uang 10 juta rupiah sehari sudah tidak memungkinkan. Polisi sekarang sedang ganas-ganasnya pada bandar judi, narkoba, dan perampok jalanan. Tapi masih payah mengejar koruptor.
Masa iya hidup harus berhenti karena mengenang masa lalu melulu? Ah, bukan laki fearless, batin Johan meniru iklan yang sering muncul di tayangan tinju.
“Kamerad Jo, hari ini, istriahatlah sejenak menjaja pentol. Kita kumpul di pos ronda. Bagilah perhatianmu dengan perkembangan mutakhir politik nasional.” ajak Marjuki di tengah kesibukan menyiapkan dagangan.
“Kamerad, apa itu?,”
“Yah, biar kelihatan kita sejajar dan setara sebagai jelatalah. Itu sapaan khas mereka yang setara dan sama rasa” terang Juki terhadap kebingungan Johan mengapa ia dipanggil begitu.