Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kritik Budaya dalam Film Her

24 Oktober 2015   15:37 Diperbarui: 24 Oktober 2015   16:44 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Fasis sendiri berasal dari kata facis yang bermakna seikat, seragam. Dalam konteks ini, manusia dipaksa untuk mengadopsi selera dan gaya yang seragam. Atau dengan kalimat lain, di era post industrial, orang bebas memilih dalam opsi yang sudah ditentukan. 

Pada akhirnya, pada konteks masyarakat yang terkomputerisasi total dan merelakan dirinya kehilangan keindividuan dan keberanian dalam kebebasan ke dalam kuasa teknologi,lahirlah apa yang disebut Herbert Marcuse sebagai Manusia Satu Dimensi itu. Kelahiran manusia satu dimensi inilah yang menjadi puncak pencapaian dari fasisme konsumerisme (?).

Saya sendiri masih dalam level bertanya: mungkinkah manusia mula-mula mengalami ketergantungan teknis terhadap teknologi lalu berubah menjadi ketergantungan psikis? Terhadap pertanyaan yang seolah “utopis” ini, jangan merasa kondisi ketergantungan psikis itu tidak mungkin terbentuk mengingat—maaf, untuk pemenuhan hasrat seksual—manusia hari ini sudah menciptakan robot sebagai alat pemuasnya! Pemuasaan seksualitas dalam kasus robot ini makin menegaskan batas yang makin tipis antara perkara teknis dan psikis dalam ihwal seksualitas bukan?

Yang tampak terang dalam film Her adalah sebuah usaha memotret “sisi yang sakit” dari masyarakat yang terkomputerisasi itu. Sebuah potret akan kehidupan yang terlihat sibuk, serba online, serba gadget, serba cepat, serba terburu-buru, namun ternyata hanyalah tampilan publik/luar yang di baliknya menyembunyikan sebuah dunia individu yang sunyi sepi sendiri....dan cemas.

Selain itu, melalui film ini, kita bisa menyimak dunia individual yang subtil-sepi-sendiri tadi melarikan diri (escape from freedom!) dan merasa menemukan kenyamanan eksistensialnya dalam kehidupan maya/virtual lantas mengaburkan makna menjalani kemayaan hidup.

Kondisi sakit di atas itulah yang mungkin penting disimak dari film yang dibesut oleh Spike Jonze. Sebuah usaha yang menurut saya berhasil memotret kondisi manusia yang sakit dalam masyarakat yang terkomputerisasi total sebagaimana dulu sangat keras disuarakan para pentolan Frankfurt School seperti Marcuse dan Fromm.

Tidak berlebih bila dikatakan film ini juga merupakan bentuk kritik budaya terhadap kontrol teknologi dalam kehidupan manusia.

Salam wiken.

***

*) Sedikit informasi tentang Film Her bisa Kunjungi ini.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun