Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kritik Budaya dalam Film Her

24 Oktober 2015   15:37 Diperbarui: 24 Oktober 2015   16:44 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita menjumpai sejenis kesepian eksistensial zaman digital aka virtual yang serba gemuruh dan adu cepat ini, cobalah tonton film ini.

Film Her mengambil setting masyarakat yang sibuk. Masyarakat yang makin terkendali dalam kekuatan teknologi. Hampir segala hal dilakukan dengan perantaraan teknologi. Peran tenaga manusia makin berkurang dalam dunia kerja atau kehidupan rumah tangga. Singkat kata, film ini mengambil suasana masyararakat "post industrial" dimana menurut sosiologi dicirikan oleh dinamika kekuatan produksi dan hubungan sosial masyarakat yang telah bergeser dari produksi ke konsumsi.

Her juga adalah kisah hidup seorang lelaki dengan karir kerja yang baik di dunia publik namun memiliki sisi sebaliknya di dunia privat. Jika di ranah publik ia ada pekerja yang profesional, di dunia privat ia adalah lelaki yang menjalani pedihnya sunyi. Jika di dunia publik ia bekerja membantu mengirimkan surat-surat, maka di dunia privat ia bahkan tidak punya pasangan cerita yang hangat. Singkat kesan, keseharian aktifitasnya sangat bergantung pada teknologi komunikasi. Ia begitu sering berhubungan dengan komputer dan gadget.

Lelaki ini harus menjalani pernikahan yang tidak cukup solid bertahan. Lalu mengalami kesepian dan sangat bergantung pada teknologi untuk melewati hari-hari yang sibuk sekaligus sunyi. Hingga kesepian itu membawanya pada jumpa digital dengan program komputer yang super canggih; jatuh cinta kepada sejenis artificial intelligence.

Perjumpaan ini mula-mula lebih karena alasan teknis, semisal untuk mengecek email, mensorstir, juga membalas. Termasuk juga untuk mengingatkan hal-hal yang terlupakan. Lama kelamaan alasan teknis itu berkembang menjadi kebutuhan psikis. Si program berubah menjadi teman curhat. Maka kejadian selanjutnya sudah dapat ditebak, si lelaki menjadi merasa menemukan kenyamanan psikis pada program tersebut.

Ia menjadi butuh dan bergantung. Sekarat dalam jatuh cinta, aha! Lalu terlibat cemburu terhadap program yang ternyata tidak hanya melayani dirinya. Ada ribuan manusia kongkrit di dunia nyata yang bukan saja membutuhkan si program dengan alasan teknis, tetapi juga jatuh cinta secara virtual!

Menyimak Kritik Budaya

Film Her boleh pula dimaknai sebagai sebuah kisah cinta ganjil dengan setting peradaban manusia yang super duper canggih. Bagaimana tidak ganjil jika film ini bercerita tentang seorang pria dengan kehidupan pribadi yang suram dan sehari-hari berhubungan dengan teknologi komputer menjadi jatuh cinta pada suara perempuan yang sesungguhnya hanyalah program. Dengan kata lain, Her adalah film dari sebuah pelarian cinta kepada dunia maya/virtual untuk menyelamatkan kehidupan privatnya yang suram bin dingin.

Selain itu, bagi yang sudah menontonnya, film ini juga memotret secara jenius sejenis sakit yang dialami oleh manusia yang hidup di era digital. Sebuah sakit di dalam masyarakat yang—dalam bahasa Erich Fromm (Revolusi Harapan, 1989)—mengalami komputerisasi total. Sebuah masyarakat terkomputerisasi total yang justru mengancam arti dari individu dan kebebasan.

Individu yang bermakna sebagai kehadiran subyek yang otentik juga otonom kini terancam dengan citra-citra palsu yang ditebar dari banyak penjuru. Citra-citra palsu itu lahir dari ketakutan untuk menjadi diri sendiri dan memilih untuk menjadi pribadi-priadi yang meniru terus menerus pada sebuah prefrensi yang membuatnya menjadi terasing dari “pertanyaan siapakah saya?”.

Sedangkan ancaman terhadap kebebasan itu bukan karena tekanan fasisme politik tradisional (misalnya lewat kekuatan-kekuatan negara dengan aparatus represifnya). Namun karena fasisme yang lahir dari ideologi konsumerisme yang menawarkan satu perburuan hasrat konsumsi tanpa batas atas benda-benda, selera maupun gaya; semacam "pemberhalaan objek konsumsi atau reifikasi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun