Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Surat Pagi untuk Presiden

23 Oktober 2015   10:44 Diperbarui: 23 Oktober 2015   15:07 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menjadi tergerak dengan status Anda ini setelah sebelumnya mati harap pada politik. Paling khusus tergerak pada bagian politik sebagai pembebasan manusia dan membangun tanpa menyakiti!

Ini adalah prinsip penting dalam mengelola kekuasaan bagi saya. Sebuah prinsip yang selama ini terbaca sumir kalau bukan malah telah terpenjara dalam mitos politik di negeri ini. Celakanya, negeri ini kurang kenyang apa dengan warisan pemikiran Islam dan Barat juga Hindu dan Budha dalam sejarah gagasan politiknya, namun masih saja terperangkap dalam posisi sebagai penghuni kasta pinggiran dalam sistem dunia dan elitnya justru sibuk dengan pertarungan blok politiknya sendiri-sendiri.

Tapi sudahlah, di sekitar Anda banyak sekali orang pintar. Di sekitar Nawacita Anda, banyak sekali cendekiawan yang ikut mendiskusikan. Jadi saya tidak berani bicara banyak soal gagasan itu. Saya hanya mau melihat prinsip itu dari hati, dari hati seorang warga yang curhat kepada Presidennya.

Pak Presiden,

Anda tentu tahu bagaimana suka dukanya hidup di tepian sungai. Anda tentu tahu bagaimana anak-anak melewati masa kecilnya dengan menjadikan sungai sebagai rumah belajar dan menjalani tumbuh besarnya. Dan Anda pasti tahu kalau sungai masihlah menjadi “halaman belakang” yang dipandang sebelah mata saja dari hiruk pikuk pembangunan.

Anda pasti jauh lebih faham kalau selama ini “teori daratan” terlalu dominan digunakan dan karena itu Anda mulai menggeser konsentrasi membangun pada lautan. Anda sudah menunjukkan itu dengan meletakkan seorang "perempuan gila" bernama Susi yang sekolahnya tidak tinggi itu untuk memgembalikan lagi daulat negara maritim atas laut Nusantara. Ada harap yang membuncah bahwa laut kita bisa sepenuhnya lagi dikelola dalam daulat hukum nasional.

Tapi terhadap sungai dan warganya?

Anda boleh pulang kesini dan saksikan sendiri kalau tidak percaya.

Saya hanya mau bilang bahwa di sini, di DAS Katingan Kalimantan Tengah, masih banyak wargamu yang hidup dalam kekurangan. Banyak yang masih belum memiliki listrik. Banyak yang masih belum bisa mengubah ketergantungannya pada pemanfaatan hasil hutan. Dan banyak juga yang belum bisa tidak bertahan hidup dengan menjadi nelayan tangkap tradisional di sungai-sungai dan menjadi penambang tradisional. Saya juga masih menemukan satu atau dua generasi di atas anak-anak hari ini yang hanya lulusan SR, SD atau SMP. Lulusan SMA bisa dihitung dengan jari.

Ketika menonton acara Festival Sungai di Frankfurt Jerman belum lama ini, saya melihat sungai yang diperlakukan dengan penuh rasa hormat dan kebanggaan. Saya tidak bilang kita harus meniru Frankfurt, kita tidak butuh narasi latah yang baru. Itu tidak penting karena kita memiliki sejarah sosial dengan sungai yang juga penuh warna. Yang hendak saya bilang, kita perlu membangun rasa memiliki, rasa menghormati, dan rasa bangga terhadap kehadiran sungai. Dan itu dimulai dengan mensubyekan sungai-sungai dan masyarakatnya.

Pembangunan harus juga hadir dengan tidak menyakiti, politik juga harus membebaskan manusia di sini, yang hidup bergenerasi dengan fasilitas yang sangat minim. Saya khawatir, jika sungai-sungai terus diabaikan sementara lautan tumbuh megah bersama pelabuhan-pelabuhan canggih dan kemeriahan lalu lintas perdagangan, maka kemarahan kolektif itu akan tumbuh bertahap dari pinggiran sungai-sungai yang merasa selalu dianaktirikan. Jangan sampai anak-anak sungai merasa Anda hanya membangun jalan raya Pos Deandels di atas laut Nusantara dan sungai hanyalah saksi bisunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun