Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Makan Siang Sederhana, Tak Sesederhana Pencapaiannya

22 Oktober 2015   18:26 Diperbarui: 14 Desember 2017   13:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Siang Sederhana/dok.pri

Siang tadi, saya menikmati makan siang yang nikmat sekali. Sebuah kenikmatan yang sederhana walau mungkin tidak sesederhana "mencapainya". Ini juga sebuah makan siang yang sangat nikmat di tengah kepungan asap yang belum lagi menunjukkan tanda akan surut.

Lihatlah gambar itu, dialah menu makan siang saya.

Saya makan siang dengan nasi putih yang baru saja ditanak, sayurnya adalah sawi dan gambas yang dimasak berkuah dan lauk tahu yang digoreng. Penyempurna rasanya adalah sambal mentah yang diramu dari cabai dan tomat saja.

Semuanya disajikan dengan tatakan plastik dan kayu. Sehingga juga dalam kenikmatan makan itu saya merasakan kehadiran dari sesuatu yang sederhana. Dengan kata lain, kenikmatan makan siang yang sederhana, khas orang desa.

Walau begitu, kenikmatan makan siang ini tidak sesederhana menu yang disajikan jika melihat kondisi-kondisi sosial yang menyertainya, yakni tidak sesederhana hanya nasi putih, tahu, sayur sawi-gambas, dan sambal. Apa pasalnya? Karena untuk "memenuhi kenikmatan sederhana ini" ada sebuah proses dibaliknya yang tidak sederhana.

Apa proses yang saya maksudkan itu?

Proses pemenuhan kenikmatan ini berkonteks pada sebuah dunia sosial ekonomi dari beberapa desa. Untuk mengadakan beras, untuk sampai ke meja makan kami, haruslah dipenuhi dari sebuah desa bernama Katingan Satu yang merupakan basis pertanian padi selain juga wilayah transmigrasi.

Kemudian untuk sayur, tahu, cabai dan tomat, dipenuhi dari sebuah dengan dengan kultur pertanian juga, khususnya sayur, bernama Katingan Tiga. Kedua desa ini bertetangga dengan desa Mendawai yang menjadi lokasi tinggal kami.

Membayangkan satu model distribusi kebutuhan pangan harian yang seperti ini saya juga membayangkan sebuah teritori yang saling menyangga kebutuhannya. Mendawai sendiri yang terletak persis di pinggir DAS Katingan dapat menjadi penyuplai ikan dari olah perikanan tangkap. Selain iu, letaknya di pinggir sungai, juga menjadi penghubung dengan pedagang yang datang dari luar, seperti dari Banjarmasin.

Usaha saling menyangga ini membentuk satu unit produksi sosial dan ekonomi antar desa yang membuat masyarakatnya tidak perlu selalu "mengimpor barang kebutuhan" dari Sampit atau Kasongan, dua Ibu kota kabupaten terdekat kecuali terhadap kebutuhan barang kebutuhan rumah tangga yang tidak diproduksi di desa. 

Dalam hubungan produksi ekonomi antara desa yang demikian, kenikmatan makan siang yang sederhana tadi bukanlah sesuatu yang sederhana dalam proses pencapaiannya. Ketidaksederhanaan itu bukan karena menu yang disajikan "bukanlah jenis makanan mewah" namun karena ada kerja keras petani yang konsisten untuk terus mengolah tanah. Sebuah kerja keras yang kini terus bertaruh diri menghadapi perubahan iklim dan tekanan liberalisasi pertanian.

Selain itu, kenikmatan sederhana ini menjadi penting diingatkan karena mungkin akan menjadi kebiasaan yang dipandang "out of date" dan seiring perjalanan waktu bisa dirasa membosankan.

Apalagi jika "definisi sosial" masyarakat atas selera mulai berubah. Misalnya saja jika desa-desa ini mengalami perubahan mengikuti kota yang kini marak dengan industri makanan cepat saji (fast food) yang kini marak hadir dengan gerai makan serupa KFC, Mcdonald, atau Pizza Hut. 

Oleh kehadiran industri fast food, masyarakat kota menjadi lebih familiar dengan ayam goreng, kentang, pizza dan minuman bersoda. Kota, yang memang tidak pernah memproduksi kebutuhan pangannya sendiri, lantas menjadi etalase bagi perburuan selera makan dan mungkin "ideologi" gaya hidup tertentu. 

Jika kita memaknai gejala ini dalam kaca mata pandang sosiolog George Ritzer (dalam bukunya Globalisasi Kehampaan,1999), maka kehadiran Mcdonald, KFC, juga Pizza Hut yang memiliki tanah air di Amerika sana, juga bisa dicurigai sebagi sebuah "ekspor selera makan" yang pada saat bersamaan ia sedang melakukan "ekspor kehampaan". Karena dengan "mengimani" selera plus gaya hidup makan di tiga unit makan terdepan dari industri fast food itu sesungguhnya kita tidak sedang menjadi siapa-siapa di sana. Kalau bukan malah menjadi bagian dari perayaan besar Global Monoculture yang mengasingkan masyarakat dari akar budayanya sendiri.

Berbeda dengan di desa yang belum sepenuhnya "terkotakan", di pinggiran DAS Katingan Kalimantan Tengah, saya masih menikmati sebuah sajian makan siang yang diproduksi dari basis pertanian desa-desa sekitar. Dan saya juga masih menikmati sebuah definisi selera yang belum ter-fast food-kan, tidak merasa sedang "mengalami Amerika" dan tetap sedang menjadi bagian dari suku pinggiran sungai saja. Saya memang sedang mengalami definisi selera yang masih awet bertahan dalam kondisi "pinggiran dan timpang".

Karena itu, dengan mengacu pada kehendak politik nasional yang sedang dijalankan sekarang ini melalui Undang-undang Desa, kita mungkin perlu memberi sedikit penekanan kultural. Undang-undang Desa yang ingin kembali melahirkan kejayaan dan kebanggan atas desa tentulah tidak sebatas untuk menciptakan "sirkuit-sirkuit keci" yang pada prinsipnya hanyalah menjadi penyangga bagi ekspansi pasar; memposisikan desa sebagai obyek dari penetrasi pasar atas komoditisasi produk pertanian karena semata demi melayani permintaan pasar global.

Dalam kepentingan kultural inilah, salah satu unsur nilai dari kesederhanaan orang desa yang terpantul dalam sajian makan yang sederhana seharusnya menjadi laku hidup yang nyata dan terpelihara dan bukan sekedar sebuah cara bertahan dalam kondisi pinggiran dan timpang. Sebuah laku hidup yang seharusnya juga menjadi kerangka nilai yang kembali dihidupkan dan disebarluaskan ke dalam kehidupan kota-kota. Dengan begitu Desa dapat berperan sebagai penyangga budaya bukan sebatas penyangga ekonomi atau politik dari kepentingan kota.

Begitulah, sedikit catatan tentang makan siang dengan kenikmatan sederhana yang saya rasakan. Ternyata kenikmatan sederhana itu tidak sesederhana yang tampak dalam penyajiannya. Sesungguhnya soal selera dan makanan, ia memiliki sebuah konteks sosial ekonomi yang kompleks.

Sudah dulu, jadi lapar lagi nih.

Salam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun