Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Makan Siang Sederhana, Tak Sesederhana Pencapaiannya

22 Oktober 2015   18:26 Diperbarui: 14 Desember 2017   13:00 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Makan Siang Sederhana/dok.pri

Selain itu, kenikmatan sederhana ini menjadi penting diingatkan karena mungkin akan menjadi kebiasaan yang dipandang "out of date" dan seiring perjalanan waktu bisa dirasa membosankan.

Apalagi jika "definisi sosial" masyarakat atas selera mulai berubah. Misalnya saja jika desa-desa ini mengalami perubahan mengikuti kota yang kini marak dengan industri makanan cepat saji (fast food) yang kini marak hadir dengan gerai makan serupa KFC, Mcdonald, atau Pizza Hut. 

Oleh kehadiran industri fast food, masyarakat kota menjadi lebih familiar dengan ayam goreng, kentang, pizza dan minuman bersoda. Kota, yang memang tidak pernah memproduksi kebutuhan pangannya sendiri, lantas menjadi etalase bagi perburuan selera makan dan mungkin "ideologi" gaya hidup tertentu. 

Jika kita memaknai gejala ini dalam kaca mata pandang sosiolog George Ritzer (dalam bukunya Globalisasi Kehampaan,1999), maka kehadiran Mcdonald, KFC, juga Pizza Hut yang memiliki tanah air di Amerika sana, juga bisa dicurigai sebagi sebuah "ekspor selera makan" yang pada saat bersamaan ia sedang melakukan "ekspor kehampaan". Karena dengan "mengimani" selera plus gaya hidup makan di tiga unit makan terdepan dari industri fast food itu sesungguhnya kita tidak sedang menjadi siapa-siapa di sana. Kalau bukan malah menjadi bagian dari perayaan besar Global Monoculture yang mengasingkan masyarakat dari akar budayanya sendiri.

Berbeda dengan di desa yang belum sepenuhnya "terkotakan", di pinggiran DAS Katingan Kalimantan Tengah, saya masih menikmati sebuah sajian makan siang yang diproduksi dari basis pertanian desa-desa sekitar. Dan saya juga masih menikmati sebuah definisi selera yang belum ter-fast food-kan, tidak merasa sedang "mengalami Amerika" dan tetap sedang menjadi bagian dari suku pinggiran sungai saja. Saya memang sedang mengalami definisi selera yang masih awet bertahan dalam kondisi "pinggiran dan timpang".

Karena itu, dengan mengacu pada kehendak politik nasional yang sedang dijalankan sekarang ini melalui Undang-undang Desa, kita mungkin perlu memberi sedikit penekanan kultural. Undang-undang Desa yang ingin kembali melahirkan kejayaan dan kebanggan atas desa tentulah tidak sebatas untuk menciptakan "sirkuit-sirkuit keci" yang pada prinsipnya hanyalah menjadi penyangga bagi ekspansi pasar; memposisikan desa sebagai obyek dari penetrasi pasar atas komoditisasi produk pertanian karena semata demi melayani permintaan pasar global.

Dalam kepentingan kultural inilah, salah satu unsur nilai dari kesederhanaan orang desa yang terpantul dalam sajian makan yang sederhana seharusnya menjadi laku hidup yang nyata dan terpelihara dan bukan sekedar sebuah cara bertahan dalam kondisi pinggiran dan timpang. Sebuah laku hidup yang seharusnya juga menjadi kerangka nilai yang kembali dihidupkan dan disebarluaskan ke dalam kehidupan kota-kota. Dengan begitu Desa dapat berperan sebagai penyangga budaya bukan sebatas penyangga ekonomi atau politik dari kepentingan kota.

Begitulah, sedikit catatan tentang makan siang dengan kenikmatan sederhana yang saya rasakan. Ternyata kenikmatan sederhana itu tidak sesederhana yang tampak dalam penyajiannya. Sesungguhnya soal selera dan makanan, ia memiliki sebuah konteks sosial ekonomi yang kompleks.

Sudah dulu, jadi lapar lagi nih.

Salam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun