S Aji
No peserta 51
Link URL/akun : http://www.kompasiana.com/tuturku
---
Jika aku mengatakan cinta padamu, maka di dalam dirimu aku mencintai berjuta-juta manusia
[Erich Fromm]
Pada permulaan Oktober yang selalu terbayang.
Aku sedang dikuliahi cerita cinta yang pada mulanya adalah anugerah dan doa, lalu menjadi duka yang belum berlalu. Walau begitu, ia tidak lantas menyerah dan membiarkan dirinya tersungkur dalam petaka.
Cerita cinta itu, datang dalam tenang manusia jelata dan duduk di dalam hatiku, menyobek semua naif kesadaranku dengan ceritanya. Cerita yang menjadi saksi dari pergerakan hidup dan mati manusia. Begini ia bercerita :
Kau wajib selalu ingat, cerita cinta ini lahir dalam masa yang tidak ongkang-ongkang kaki. Bukan pula cerita cinta yang mekar dalam masa dengan pikiran-pikiran lembek dan cepat berpuas diri. Bukan pula cerita cinta yang tumbuh dari sebuah masa penuh gaduh karena doyan gosip dan pergunjingan. Bukan pula cerita cinta yang hidup dalam sebuah masa dimana manusia lebih mudah bersahut-sahutan isu ketimbang mengambil jarak dan merenungkan dirinya sendiri. Bukan pula cerita cinta yang bersemi dalam sebuah masa dimana kesadaran berdebat perkara remeh dan tidak mengerti perkara-perkara besar untuk hidup bersama mereka.
Tapi, kau catatlah, cerita cinta ini tumbuh dalam masa berdarah dan penuh jejak derita. Ia hadir dalam hati jelata yang bengkok pinggangnya karena mengolah tanah dan laut namun menolak tunduk. Ia juga hadir dalam pikiran-pikiran kaum sekolahan yang bolak-balik masuk penjara kolonial namun menolak untuk bungkam. Ia juga hadir dalam jiwa-jiwa penuh welas asih kaum perempuan yang tidak ingin hanya menjadi pemandu sorak sejarah. Mereka semua terlibat, dalam bagian perannya masing-masing, untuk cinta yang memilih jalan merdeka.
Lalu, bersama dengan jalan waktu, cerita cinta ini mengambil bentuk politik kebangsaannya dalam kehidupan bernama Republik.
Ia adalah tekad cinta yang berjuang merekatkan Timur Merauke dan Barat Sabang, mengikatkan Utara Miagas dan Selatan pula Rote. Ia berusaha menghidupi bermacam suku dan bahasa, ia berusaha memakmurakan mereka semua dengan kasih tulusnya yang dititipkan Sang Maha. Ia, cinta yang berjuang tumbuh sembari merawat harap dan menjanjikan masa depan dalam pergulatan hari-hari yang terus terasa berat.
Takdir cinta mungkin tidak bisa menjadi cinta yang sejati tanpa pengujian diri terus menerus, tanpa proses menjadi sepanjang hayatnya. Bahkan ketika bentuk politiknya telah tiba pada Republik, teritorinya telah menyebut diri sebagai Indonesia Raya, sanubarinya telah memiliki api Pancasila, dan tiang-tiang rumahnya telah memiliki Undang-Undang Dasar 45.
Memiliki itu semua, ternyata cerita cinta ini barulah permulaan dari sebuah episode baru sejarah.
Kau kenanglah, dalam usianya yang masih muda, cerita cinta seperti ini haruslah menulis kisah pergolakan dengan pertikaian dalam rumah. Sebuah pertikaian yang tumbuh dari hati kecewa dan kehendak untuk menulis sejarah sendiri. Sebuah pertikaian yang juga tidak sepenuhnya lepas dari racun lama perselingkuhan kolonialisme.
Lalu datang lagi sebuah ujian baru untuk mendewasakan proses menjadi cintanya.
Kali ini adalah tragedi yang sampai hari ini terus menjadi trauma dan silang sengketa. Sebuah tragedi dari perseteruan politik global yang mengambil bentuk nasional dalam sebuah masa yang dikenal sebagai Peran Dingin. Bukan sedikit yang menjadi korban yang bisu. Bukan sedikit yang terdiam dalam kutukan trauma. Bukan pula sedikit yang menempuh hidup dipenjara tanpa pengadilan. Takdir cinta yang berjuang melahirkan Republik itu hampir saja collapse dalam tragedi ini.
Kemudian datang lagi huru-hara yang bertubi-tubi. Bahkan mengambil jalan tragedi lagi. Kali ini, ia bersumber pada kekuasaan yang telah menempuh jalan senjakalanya sendiri. Kekuasaan yang sudah lupa, tidak ada keabadian pada syahwat kekuasaan manusia yang merasa boleh abadi.
Tragedi itu adalah kerusuhan yang meledak, bukan saja pada pusat dimana kekuasaan itu serba mengendalikan dan mengawasi seperti Panopticon, tetapi juga meledak di pinggiran, di rumah-rumah budaya yang selama ini hanya menjadi alas kaki pembangunan. Rumah Republik hampir saja tumbang dan menjadi sejarah yang dilupakan. Namun, kekuatan cinta ini masih bisa bertahan, masih percaya bahwa masa depan Republik yang dihajar tragedi masih mungkin diperjuangkan bersama.
Kau harus sadari. Kini, cerita cinta itu sedang terseok-seok untuk menemukan energi kebangkitannya dalam sebuah era dimana kekuatan-kekuatan bipolar telah mengambil bentuk multipolar, batas-batas geografi telah runtuh, kekuatan-kekuatan teknologi telah dominan menggantikan fungsi tubuh manusia, daya ledak teknologi komunikasi telah mampu mengimitasi kesadaran dan kekuatan-kekuatan virtual telah sukses mengaburkan batas pembeda antara api dan abu.
Cerita cinta itu juga sedang terseok-seok untuk menemukan kembali sebuah cara menghidupkan ruang batin yang tidak suka menjadikan Fiksi sebagai jalan pelarian diri dari tanggung jawab hidup bersama. Cerita cinta yang sedang terseok-seok untuk menghidupkan kembali keberanian di dalam ruang batin agar tidak tunduk pada dikte nasib yang meneruskan pola kuasa kolonial. Cerita cinta itu juga sedang terseok-seok untuk menemukan kembali sebuah cara menanamkan rasa ikhlas dalam kerja keras yang tidak mudah terpenjara oleh kalkulasi material dan pemuasan tanpa henti dari kesenangan sempit.
Jadi, sesudah semua cerita ini, sekarang aku saatnya bertanya kepadamu, ikhlaskah kau menjadi bagian hidup dari cerita cinta yang berjuang bertahan untuk mengabdi pada kebahagian banyak orang dan bukan demi kebahagiaanmu sendiri ?
Beranikah kau menjadi cinta yang turut sibuk mempersiapkan masa tua bahagia banyak manusia tanpa kau memeriksa kastanya masing-masing?
Setiakah kau mengorbankan diri untuk menyiapkan masa depan gelimang bahagia dari anak-anak yang menghuni seluruh penjuru Republik dan bukan sekedar bahagia anak-anak keturunanmu sendiri ?
Jika kau sudah siap, beranikah kau mengatakan cinta padaku. Mengatakan cinta yang mengabdi pada Ibu Pertiwimu?
---
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Catatan :
Mba/Mas Admins yang baik hati, minta maaf jika ada beberapa ketentuan syarat yang tidak sempat saya patuhi. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H