Pada pesisir laut yang tak lagi syahdu, kini banyak orang datang, sebagai manusia pergi belanja atau menghanyutkan penat harian, tak sedikit juga mereka yang hendak berharap kerja. Apalagi jika tiba musim hari raya, diskon menghipnotis dimana-mana, mall-mall sesak luar biasa. Manusia-manusia hilir mudik melayani seleranya, mungkin pula gengsinya. Pulang pergi dengan mengejar kepuasan diri yang selalu saja berubah tafsir. Kota lalu menjadi ritus pemujaan bagi komoditi, mall adalah rumah ibadahnya.
Inikah kemajuan itu: ketika kota-kota makin sesak dengan manusia belanja yang hilir mudik setiap hari? Inikah keberlanjutan itu: ketika kota tumbuh mekar dalam satu mimpi tunggal yang diurapi dengan angka-angka pertumbuhan? Inikah pendekatan baru itu: ketika kota dibangun mengikuti imajinasi yang sama dan berkembang serupa dimana-mana?
Oh sejarah!
Kadang aku ingin sekali berteriak, mengatakan ada yang terlindas dari narasi kemajuan yang disemaikan media massa setiap hari. Kadang juga, ingin sekali aku memberontak, pada teori-teori yang memuja keberlanjutan dengan melayani suara perburuan material. Kadang juga, ingin sekali aku menentang, kepada cerita indah pertumbuhan yang enggan memenuhi statistik resmi dari tumbal-tumbal yang bisu.
Tapi, apakah suaraku akan didengar? Dalam sebuah gairah massa akan konsumsi yang dibungkusi dengan kreativitas pemerintah menciptakan sumber-sumber pertumbuhan baru, tidakkah suaraku hanya akan dipandang sebagai jerit iri kaum yang kalah? Dalam sebuah perayaan kolosal media massa tentang iklan indah kemajuan, tidakkah suaraku hanya akan dicap igauan dari kaum terbelakang?
Jadi, aku tulis saja disini. Barangkali bisa mengurangi rasa asing dan terbuang dari kasih sayang laut yang kini merasuk.
Inilah kesaksian aku, seorang anak dari kasih sayang laut, yang kini sekedar menjadi buih di telapak kemajuan. Inilah kesaksian anak yang bertahan hidup dengan menghapus jejak langkah mereka yang selalu kembali membeli citra diri di etalase-etalase konsumsi. Setiap hari, dengan ember dan kain pel berdaki, inilah kesaksianku. Hingga lambat laun aku mulai lupa, wajah lelah seorang babu milik Ibu dan wajah resah penganggur tua milik Ayah. Karena Ibu, Ayah dan aku, telah tiba sebagai penghuni nostalgia yang sama terbuang.
Inilah kesaksian sunyi seorang anak yang ditinggal merajuk kasih sayang laut. Juga adalah kesaksian hidup orang-orang terbuang dari sebuah kota yang terlanjur percaya pada mimpi konsumsi. Dari sebuah kota yang menjadi pemuja komoditi dan membangun mall-mall sebagai rumah ibadahnya.
Jika sudi, bacalah kesaksianku, berteman kopi, juga sebuah lagu lama. Bacalah kesaksianku dari dalam hatimu.
Aku mendengar suara
Jerit makhluk terluka
Luka, luka
Hidupnya, luka
[Kesaksian, Kantata]
---