Aku pergi menjumpai Api. Sendiri, hanya berteman teknologi.
Menyebrangi sungai yang sepi, menembusi kabut yang mistis, tiba jualah di tempat Api. Api, sedang sibuk. “Duduklah, ada sisa gambut dan kayu tua yang belum ku lumat”, perintahnya ketika tiba di tempatnya.
Aku diam saja, segan setengah mati. Bagaimana memulai percakapan dengannya ?
Maka aku memutar pandang ke segala arah, yang tersisa hanyalah keseimbangan alam yang terbakar rata. Daun menguning kecoklatan, batang-batang pohon menjadi arang, gambut menjadi debu. Yang tersisa hanyalah kesunyian yang ringkih, seperti hidup manusia yang fana. Debu gambut yang beterbangan, helai hitamnya jatuh di pelupuk mata batin, “kalian masih mau main-main dengan api?”, tanyanya kemudian.
Aku diam saja, mau menjawab apa juga ?
Lalu Api datang menghampiri. “Aku tahu pada akhirnya kau akan datang kesini. Aku tahu kau membawa bekal pengetahuan yang diproduksi oleh instrumen-instrumen canggih, dari foto saltelit NASA, juga peralatan serupa GPS untuk mengidentifikasi kesesuaian koordinat. Aku juga tahu, sebisa mungkin, kau datang dengan peralatan keselamatan standar”, tembaknya tanpa basa basi.
Aku diam saja, memang bisa mengelak apa?
Jadi aku bertanya saja. “Kau tahu dari mana?”, tanyaku takut-takut. “Hahaha, memangnya kalian saja yang mempelajari jenisku, aku juga mempelajari jenis lalai dan alpa dari kalian!”balasnya sungguh tidak ramah.
Lalu aku memilih menepi, mengambil duduk di batang pohon Rasau yang setengah menghitam. “Dia membakar kami sepanjang malam, sampai sekarang belum berhenti”, galau Rasau kepadaku.
Aku diam saja, memang bisa menenangkan bagaimana ?
“Sabarlah”, jawab aku, lebih kepada diri sendiri.