Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Karena Kompasiana, Saya Berpuasa

10 September 2015   19:33 Diperbarui: 10 September 2015   19:33 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mendaftarkan diri ke Kompasiana, lalu didata sebagai warga yang terverifikasi sejak 18 Februari 2013. Awalnya menjadi warga di Kompasiana dimulai dari sekedar rasa penasaran. Tapi seiring berjalan waktu, sifat sekedar itu ternyata memiliki konsekuensi yang “lebih dari sekedar penasaran”.

Saat itu, permulaan tahun 2013, di Tebet Barat, Jakarta. Saya penasaran dengan seorang teman yang selalu serius berhadapan dengan komputer kantor. Hanya berhenti kalau sudah waktu makan atau hendak mengaso : merokok, ngopi dan ngobrol. Saya terus saja penasaran, ngapain aja dia setiap hari, serius sekali.

Pada satu siang, saya bertanya padanya, “serius sekali, lagi ngapain sih?”. Dia terus mengangkat wajah, tersenyum, “Lagi liat-liat Kompasiana”, jawabnya sembari melanjutkan kesibukannya berselancar. “Kompasiana, itu barang apa lagi?”, tanya saya masih penasaran. “Ini blognya Kompas, banyak orang menulis di sini Bro”, jawabnya.

Saya lantas mendekat, duduk di sampingnya. “Oooh..bagaimana saya bisa terlibat di situ?”, bertanya saya makin antusias. “Bikin akun aja, terus mulai menulis, mudah”, jawabnya kemudian. Dari situlah, saya membuat akun dan mulai bersibuk hari dengan Kompasiana. Mulailah saya mempublish apa saja yang bekerja di dalam pikiran setiap tersedia kesempatan ketika ingin menulis. Bahkan ketika berada di pinggiran yang jauh dari Jakarta yang terburu-buru itu, seperti sekarang ini, asal tersedia jaringan internet yang cukup stabil, saya sempat-sempatkan menulis, apakah puisi pendek, apakah cerpen, atau pengalaman yang lebih faktual, seperti perjumpaan dengan keterbatasan hidup warga di sini atau hal-hal apa saja yang hendak saya tulis.

Bahkan, kalau lagi bernafsu sekali, dalam sehari, mungkin bisa menulis lebih dari sekali. Terserah deh mau diapain sama mbak/mas Admin. Saya hanya berusaha untuk ikut bercerita, ikut tersambung dan berbagi saja. Paling minim, buat koleksi sendiri, semacam catatan harian yang berkisah bahwa pikiran saya pernah tiba di sini, pernah berdiskusi soal ini, dan pernah buntu disini, pernah tersungkur di sana, pernah bangkit dan bergerak lagi di sini. Tapi, dari semua pergi, berdiri, tersungkur, dan bergerak bangkit lagi itu, semoga saja pergulatan pikiran untuk berbagi waras tidak pernah kenal menyerah.

Selain proses buntu-bergerak pikiran itu, dalam ber-Kompasiana, bukan tidak pernah saya merasa ingin berhenti, sebab kesal karena sebab-sebab teknis yang juga dikeluhkan banyak Kompasianer, atau karena merasa Kompasiana ini “tidak punya kelamin ideologi”. Ketika sudah tiba di titik ini, khususnya sebab kedua, pasti deh sibuk dengan dialog diri sendiri. Dalam proses mencari jawab atas alasan yang kedua itulah, tiba saya pada kesimpulan arti ideologis dan keberpihakan Kompasiana itu justru terletak kehadirannya yang merangkum semua jenis aliran yang tersalurkan melalui bermacam kanal. Ini sebuah positioning jurnalisme warga yang baik sekali di era yang serba campur sari tumpang tindih dan penuh duplikasi dimana-mana.

Kesimpulan ideologis yang seperti ini masih menjadi persoalan lagi. Bagaimana agar ia menjadi praktis ?

Ideologi tanpa daya dorong praktis, itu hanya akan menjadi pikiran-pikiran abstrak yang lari dari kenyataan, kalau bukan malah sekedar apalogi diri yang kosong. Maka, saya mencoba mencari turunan, mungkin juga tuntunan pribadi. Maka tersusunlah sebuah prinsip sederhana saja, selain berbagi dan bersambung yang sudah dipatrikan Kompasiana, hal ketiga yang ikut saya aminkan adalah menjaga kewarasan warga.

Pendasaran prinsip seperti ini buat saya penting, apalagi kalau dihadapkan dengan kecenderungan media massa mainstream merawat sensasi dan adu kecepatan dalam menyajikan informasi. Tiga prinsip tadi, berbagi, bersambung,dan menjaga kewarasan dari tulisan-tulisan warga biasa inilah yang selalu mengurapi ruang batin sepanjang bergiat di Kompasiana

Apakah terus dengan menemukan satu referensi ideologis dan turunan sikap praktis, maka gairah saya menjadi konstan dan konsisten seperti rindu yang subur pada pasangan yang baru saja bersepakat jadian?

Oh, tidak juga. Lantas alasan apalagi yang bisa dijadikan pegangan untuk memelihara prinsip praktis tadi : berbagi, bersambung, dan menjaga kewarasan. Kali ini, saya terus mengaca diri pada para sesepuh di Kompasiana. Saya sebut secara khusus saja, kalau ingat kontribusi sosok seperti pak Tjipta yang sudah sepuh namun bisa konsisten mempublish tulisan berkali-kali dalam satu hari dengan selalu memberi inspirasi, saya malu hati. Belum lagi rasa malu kepada yang lainnya, yang artikelnya sudah bejibun di sini.

Jadi, selanjutnya saya menulis saja, berbagi saja, bersambung juga, dan semaksimal mungkin menjaga kewarasan. Soal tiga prinsip ini, saya enggan cerita bagaimana mewujudkannya, nanti terbaca sedang memberi kuliah moral. Itu kan wilayah Kang Pepih Nugraha, bukan saya, hahaha.

Pada pokoknya menulis dan menulis saja. Lalu pergi berkunjung, mengambil inspirasi dari kisah yang diceritakan teman-teman Kompasianer yang lain. Ikut berkomentar ria, tertawa sendiri di depan hand phone, dan, sesudah itu, istirahat, kembali ke dunia nyata.

Gegara mencoba disiplin pada tiga prinsip : berbagi dengan menulis, bersambung dengan berkunjung, beri vote dan berkomentar, serta menjaga pikiran dengan artikel-artikel yang sehat, demi terus waras di tengah kecenderungan perayaan sensasi ini, selalu ada waktu buat ber-Kompasiana.

Cukuplah dengan kesehatan jempol, jaringan internet, juga paket data tentunya, juga ditemani segelas Kopi dan mata yang masih bersemangat, selalu memaksa waktu untuk bergerak mengumpulkan makna-makna yang tersebar dari pembagian ikhlas dan bersemangat kawan-kawan Kompasianer yang budiman. Sungguh kepuasaan diri yang sederhana sekali.

Saya bisa berselancar ke Timur Tengah, melihat sisi lain kehidupan disana, juga dari berkeliling di sini. Saya bisa pergi ke Eropa, melihat kehidupan yang berwarna di sana, juga dengan berkunjung di Kompasiana. Saya bisa ke Australia dan melihat hal-hal inspiratif disana, juga dengan berselancar di Kompasiana. Termasuk juga ketika berkunjung ke kota-kota di Indonesia, melihat kisah-kisah menarik dan bermanfaat juga dengan ber-Kompasiana. Bagi artikel yang menurut saya menarik dan penting, akan segera saya sebar.

Termasuk juga, untuk meneduhkan hati dan melepas penat pikiran, saya pergi ke rumah Fikisana, mencari puisi, cerpen dan cermin yang menginspirasi disana. Sama halnya, ketika seorang teman mengeluh soal kolesterolnya yang mungkin berulah, saya mencopy link artikel kesehatan, saya teruskan padanya. “Baca itu!”, perintah saya, dia berujar, “ada gunanya juga Kompasiana ya?”. Saya sewot, dan membalas, “yang gak berguna itu kayak kamu, sudah tidak menulis, sakit-sakitan lagi!”. Dia ketawa saja. Saya apalagi, terbahak-bahak.

Begitulah terus kejadiannya, terus tersambung dengan Kompasiana. Selalu tersedia waktu untuk berkunjung, berkeliling dan mengambil makna yang disebar secara sukarela. Selalu juga mencoba berbagi, dan, semoga saja benar terlibat menjaga kewarasan bersama.

Lambat laun, makin ke sini, kurang lebih dua tahun berselang ini, saya baru ngeh, gara-gara Kompasiana, saya jadi makin mantap berpuasa dari pengaruh sosial media yang lain, serupa Face Book, Twitter, Instagram, Path, atau dengan bikin blog sendiri. Rasanya sudah cukup, sudah at home, padahal yang nyata saya kenal hanya tiga orang saja, teman yang menunjukkan cara menjadi warga Kompasiana, seorang lagi di Samarinda, Kalimantan Timur, dan yang terakhir di Manado, Sulawesi Utara. Sayang, mereka sekarang sudah tidak lagi bergiat.

Bagi saya, tidak perlu lagi sibuk dengan kegaduhan dan adu kecepatan informasi di sudut dunia maya yang lain, lantas mudah heboh dan latah. Apalagi kelatahan dan kehebohan yang tidak dibangun dengan argumentasi, bahaya. Cukuplah sudah. Di era digital, saya setuju jika, kesadaran wajib diet terhadap tsunami informasi. Dan Kompasiana cukup membantu untuk itu. Termasuk membuat saya berpuasa terhadap yang lain.

Akhir kata, Dirgahayu Kompasiana yang ke-7, tetap setia berkembang jurnalisme warga yang merawat sikap berbagi, bersambung, dan, menjaga kewarasan. Jangan eror lagi ya, please.

Salam hormat saya untuk Kang Pepih Nugraha dan kawan-kawan.

Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun