Mereka mulai ngobrol tentang bagaimana sebaiknya sebuah kepemimpinan politik disudahi agar kopi bisa kembali hadir tanpa marabahaya dan kegaduhan karena panik sosial. Maksud saya, “panik sosial” karena beras plastik ini sudah harus segera dibereskan. Jika benar ada mafia disana, pemerintah harus bisa membongkar dan menghancurkan jejaring itu sampai habis. Jangan sampai ia menular pada komoditi lain yang fungsinya begitu lekat dengan sehari-hari kehidupan masyarakat.
Semua bangsa membangun membutuhkan era yang tenang, stabil namun tetap kritis. Sebuah era dimana energi produktif dan kreatif bisa menemukan ruang ekspresi penyalurannya dalam segala lini untuk mempercepat perbaikan-perbaikan di sektor-sektor kehidupan yang menopang kehidupan bersama menjadi lebih baik.
Sebagaimana juga, dalam hemat saya, ditunjukan presiden Joko Widodo dengan terus membuka komunikasi politik dengan kekuatan-kekuatan yang kemarin saling bersaing. Sesudah pemilu, yang dilakukan tidaklah lagi mengurusi kegaduhan dan merawat perseteruan yang kekanak-kanakan. Sebagai bangsa, kita memang harus terus mengonsolidasikan demokrasi, bukan saja untuk membangun kultur politik yang cerdas dan dewasa, namun juga untuk menciptakan keseimbangan yang dinamis agar dapat bahu membahu mendorong terwujudnya pembangunan yang selaras dengan amanah konsititusi dan cita-cita kemerdekaan.
Dengan kata lain, ke-Kita-an yang harus terus dirajut dalam modalitas kebersamaan bersaudara setanah air dan sebangsa merdeka, jangan sampai terjebak dalam “tradisi retak” karena “barang kebutuhan” serupa beras dan kopi mulai diserang oleh aksi-aksi berbahaya seperti kasus beras plastik ini.
Demikianlah cerita mengapa beras, kopi dan kita sebenarnya saling berikat.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI