Saya adalah salah satu kompasianer yang turut berbangga hati karena Kompasiana diundang makan siang oleh Jokowi. Dari tulisan kompasianer Niken Satyawati berjudul 2 Jam Bersama Presiden, saya melihat kesan bahwa Presiden Jokowi memang benar meluangkan waktu untuk membaca dinamika pemikiran yang bergulat di Kompasiana, khususnya tentang kepemimpinannya, sebagaimana selama ini beliau sampaikan juga kepada publik. Seorang presiden yang jelas super sibuk masih meluangkan waktu untuk membaca keluh kesah warga dalam ruang virtual adalah sinyalemen yang baik bagi demokrasi. Sayangnya, saya tidak membaca perkara apa saja yang didiskusikan dengan presiden Jokowi saat makan siang itu.
Tulisan kompasianer Niken dapat dibaca di sini. Untuk pelengkap dari reportase Mbak Niken, kita bisa baca "cerita dari sisi lain jamuan 2 jam itu" dalam tulisan Kompasianer Gatot Swandito di sini.
Namun, barangkali ada banyak dari kita, termasuk di Kompasiana, yang menuding pertemuan makan siang 2 jam pada 19 Mei 2015 itu adalah sebuah realisasi rasa terimakasih presiden Jokowi terhadap Kompasiana yang sudah secara politik gagasan terlibat untuk "membela beliau". Rasa terimakasih karena Kompasiana telah menjadi salah satu arena tarung gagasan yang ikut merekonstruksi citra positif mantan Gubernur DKI Jakarta ini dari serangan laskar-laskar virtual (virtual army) yang berseberangan atau bahkan membencinya habis-habisan. Dengan kata lain, Kompasiana adalah alat politik yang bekerja memperbesar “hegemoni” Jokowi di ruang virtual.
Pada titik curiga seperti ini, saya fikir tidak ada masalah. Perbedaan pandang terhadap kepemimpinan Jokowi justru harus dipelihara sejauh berhubungan dengan diskusi-diskusi kritis yang berlandas pada kepedulian akan nasib hidup berbangsa dan bukan karena melayani kebencian yang tiada tara lagi bandingnya. Selain itu, dalam perkembangan faktualnya, saya kira admin Kompasiana telah cukup bijak memberi bingkai aturan main juga “porsi layak tayang” dalam pertarungan gagasan yang mendukung dan menentang kepemimpinan Jokowi. Percaya saja, dan para admin juga jauh lebih faham, Kompasiana akan dibunuh warganya jika terbaca sudah bekerja sebagai tukang sapu kekuasaan, terlebih lagi kekuasaan yang gagal.
Saya juga merasa, dalam hubungan mesra Jokowi dan Kompasiana ini, kita yang berdiri dari “garis tengah” yakni tidak selalu pro atau terus menerus kontra, tidak perlu terlalu tegang menegang karena khawatir kepemimpinan Jokowi akan melakukan sejenis “kooptasi pikiran” terhadap rumah-rumah gagasan virtual. Dalam sejarah politik nasional, kita memang pernah mengalami satu era dimana mesin-mesin kooptasi dan korporatisasi pikiran bekerja demikian efektifnya.
Namun di era digitalisasi demokrasi, tindakan seperti itu hanya akan menggali kuburan legitimasinya sendiri sebab sudah banyak kasus dimana kekuatan informasi dan dunia vitual iktu terlibat merontokan rezim politik yang tertutup. Presiden Jokowi, yang cukup memahami “kontribusi kekuatan-kekuatan digital dalam demokrasi” tidak akan menggunakan cara-cara yang kontraproduktif sekali pun memiliki interest yang sangat kuat untuk memperoleh dukungan yang kritis dan positif.
Yang kiranya jelas, dari undangan makan siang ini, bisa dikatakan, Kompasiana adalah salah satu kampung virtual dimana Presiden Jokowi sering sekali blusukan. Blusukan untuk menelisik keluhan, kritik, dan saran atas kepemimpinannya, termasuk juga, menelisik kebencian, kemarahan, kritik-kritik keras dan “kampanye penggulingan” dirinya. Blusukan untuk menemukan sejauhmana kepemimpinan politiknya telah memberi makna terhadap cita-cita kemerdekaan atau malah sebaliknya. Sebuah aksi blusukan yang tidak membutuhkan pengerahan pasukan pengawalnya.
Paska Makan Siang
Perjamuan makan siang Istana kepada Kompasiana adalah sebuah kehormatan. Kehormatan bahwa orang nomor satu di Republik ini memang memiliki perhatian terhadap dinamika pemikiran warga di Kompasiana sebagai salah satu sarana baginya untuk bercermin diri. Apalagi jika nanti presiden dapat hadir pada pertemuan kumpul tahunan Kompasianival, maka makin lengkapnya bentuk penghargaan terhadap Kompasiana.
Yang kiranya perlu dipertimbangkan adalah perkembangan sesudah makan siang itu. Secara filosofis, makan siang sejatnya adalah sebuah jeda atas keseharian yang sibuk. Ia juga sebuah jeda untuk mengisi kembali energi demi meneruskan hari dengan tenaga produktif yang sama. Jadi, sesudah makan siang, kita bukan melanjutkan tidur dan malas-malasan bukan ?.
Tantangan sesudah makan siang itu mungkin jauh lebih berat lagi. Salah satunya, tetap menjaga energi produktif agar terus tampil maksimal mengisi hari-hari berkualitas.
Kembali pada “kemesraan Kompasiana dengan presiden Jokowi”, tentu kita harus tetap memberi cukup ruang untuk tetap berjarak dengan kekuasaan. Karena kekuasaan bersama sumber daya yang dimilikinya selalu memiliki daya pikat dan teknik bujuk rayu yang canggih. Maka, kita terus butuh sebuah ruang dimana akal sehat, kewarasan, dan kritik terus dimungkinkan hidup sejajar dengan keterpukauan, puja puji, dan kebanggaan kepada presiden Jokowi. Kita selalu membutuhkan sebuah ruang dimana sikap pro dan kontra tetap bergulat terhadap kekuasaan dalam orientasi bersama : demi melayani tujuan menjadi bangsa merdeka.
Saya rasa, tanpa bermaksud menasehati Admins yang jauh lebih faham urusan begini, disinilah Kompasiana memainkan strategi politik gagasannya di era digitalisasi demokrasi. Yakni berdiri di garis tengah, menjadi ruang dari sikap-sikap kritis yang berasal dari kutub pro dan kontra terhadap kepemimpinan Jokowi pun paska Jokowi. Dengan maksud lain, menjadi kekuatan penyeimbang yang menghidupkan kritisisme dari rakyat biasa yang secara sukarela berbagi pikiran, catatan, kesaksian, harapan, kekecewaan, kemarahan, dan sebagainya demi hidup berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Dengan begitu, Kompasiana akan menjadi salah satu tiang penting yang menjaga tegaknya ruang publik politik virtual. Semoga.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H