Secara psikologi, sakit hati mudah sekali menyeruak ketika harapan dan kenyataan saling bertolak belakang, saling menegasi satu sama lain, saling meniadakan satu sama lainnya. Pada bentuk paling ekstrim, ketika perwujudan kenyataan justru makin mematikan harapan. Rasa sakit membenih, tumbuh dan mekar berseri dalam “dialektika negatif” seperti ini, termasuk tanpa terkecuali, di dalam politik. Sebab politik bukan sebatas tentang siapa memilih siapa, tetapi juga tentang siapa berharap apa.
Ketika kabar berita mengatakan kalau Presiden ke-7 Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, mengajak untuk bersakit-sakit dahulu, rasa-rasanya kok kita seperti dibawa pada sejenis kesadaran yang amnesia. Kurang sakitkah kita selama ini sebagai warga negara yang cukup setia memilih dalam pemilu ?. Kurang sakitkah kita hidup berbangsa dan bernegara selama ini ?.
Kurang sakit hatikah kita ketika tahu tunjangan anggota legislatif itu naik, hidup terus berlimpah fasilitas, sementara untuk mencari makan sehari-hari saja kita, “rakyat alas kaki” harus berkelahi dulu di jalanan, pasar, terminal, bahkan gang-gang sempit lokalisasi pelacuran ?.
Kurang sakitkah hati kita sebagai warga negara alas kaki yang tergusur dari tanah-tanah perkotaan karena dikapling-kapling untuk membangun superblock, pemukiman elit, dan sebangsanya, sementara sebagai penjual kaki lima, pedagang VCD bajakan, anak-anak jalanan, Gepeng, terus saja dihajar kebijakan pentungan dari aparatur berseragam atas nama ketertiban, kenyamanan, kebersihan dan penegakkan hukum ?.
Kurang sakitkah kita hidup berpuluh generasi di desa tepia sungai tanpa listrik, akses air bersih, jalan dasar, fasilitas kesehatan yang memadai, fasilitas penerangan negara yang konsisten namun kita tidak pernah merancang pemberontak dan revolusi sosial ?. Jangankan memikirkan revolusi, membenci elit politik dan pejabat pemerintahan saja kita enggan ?.
Terus, Kurang menahan sakit jenis apalagi kita ini pak Joko Widodo ?.
Tapi mungkin, agar tidak tenggelam dalam sedu sedan mengharu biru, ajakan presiden kita baca saja sebagai atribut tambahan pada kaidah yang sudah diterima bahwa politik adalah seni mengelola kemungkinan. Dari ajakan presiden ini, kita fahami saja “politik seni sebagai mengelola rasa sakit”.
Dengan kata lain, rasa sakit yang lazimnya berdimensi “psiko-politik” itu kita transfigurasi menjadi “diskursus kekuasaan” saja. Dari hati, kita pindakan ke pikiran, dari rasa galau ke renungan pengalaman. Sehingga, dalam kalimat pertanyaan diskursif, rasa sakit itu difigurasi menjadi : bagaimanakah rasa sakit dikelola dalam politik ?. Bagaimanakah rasa sakit menjadi bagian dari pengaturan kekuasaan ?. Bagaimana rasa sakit dikelola dalam hubungan negara,masyarakat dan pasar ?.
Politik, Pembangunan dan Rasa Sakit
Salah satu cara untuk mendiskursuskan rasa sakit hati dalam politik adalah mendiskusikan bagaimana kekuasaan itu bekerja, apakah ia tunduk, taat dan patuh pada tujuan bersama atau justru bekerja sebaliknya. Dalam pengalaman Indonesia, maka bagaimana kekuasaan itu beroperasi dalam terang cita-cita kemerdekaan atau justru bekerja dalam cita-cita segelintir kelas oligarki.
Menurut saya, untuk menelisik rasa sakit kolektif sebagai rakyat, kita harus memeriksa kembali pembangunan. Apalagi pembangunan yang menyedot duit tidak sedikit itu, wajib kita curigai dengan bertanya pembangunan ini sedang melayani siapa, melayani kelas sosial yang mana ?.