Pada sejarah pembangunan Indonesia,sudah banyak kritik-kritik yang diberikan. Mulai dari mazhab Modernisasi, Teori Ketergantungan, Teori Post Ketergantungan, hingga ke Sistem Dunia. Juga kritik-kritik yang belakangan datang dalam semangat feminisme, etno-developmentalisme, eco-developmentalisme, juga internasionalisme baru.
Saya bukan ahli di kritik pembangunan. Saya juga adalah jelata jenis alas kaki dari sebuah republik. Di sini, saya hanya hendak mengutip salah satu teks dalam kritik (teori) pembangunan. Lebih tepatnya, kritik sosiologi atas pembangunan. Kritik ini lahir dari permenungan sosiologis seorang Peter. L. Berger, salah satu penerus tradisi Weberian dari cabang Fenomenologi.
Berger menulis kritiknya itu dalam buku Piramida Kurban Manusia, sebuah kritik sosiologi atas model pembangunan gaya kapitalisme dan gaya sosialisme. Buku ini pernah diterjemahkan oleh LP3ES.
Yang mau saya kutip dalam kebutuhan diskursus tentang politik dan rasa sakit adalah wasiat Berger agar dalam membangun, sejak dalam rencananya, pemerintah sebaiknya “menghitung” dua indikator. Dua indikator konseptual yang berhubungan dengan, menurut saya, meminimalisir rasa sakit itu sebagai rakyat jelata.
Seingat saya, kedua konsep itu adalah kalkulasi luka-luka (calculus of pain) dan kalkulasi makna-makna (calculus of meaning). Maaf jika nanti ada perbedaan penjelasan atau pemaknaan atas dua konsep ini, hal mana dikarenakan saya tidak cukup memiliki kemudahan untuk mengakses bacaan itu lagi. Pasalnya, mengakses listrik dan sinyal komunikasi yang stabil dan membahagiakan pelanggan saja masih susah, sehingga membuat saya tidak bisa berselancar terlalu lama dunia maya.
Kalkulasi luka-luka, dalam pandangan saya, lebuh merujuk pada perhitungan atas kerugian-kerugian material yang diderita rakyat karena pembangunan. Misalnya saja, berapa hektar tanaman yang gagal panen gegara pemerintah lebih sibuk dengan mengimport produk pertanian dari negara maju. Berapa berapa mulut yang kehilangan pekerjaan gegara pemerintah membangun pabrik di atas lahan pertanian tanpa ganti rugi yang memadai. Singkat penjelasan, kalkulasi luka-luka berhubungan dengan perhitungan matematika ekonomi. Maka, rakyat yang menjadi korban adalah daftar angka-angka yang bisa dihitung.
Sedangkan kalkulasi makna-makna (calculus of meaning) berhubungan dengan memahami makna, dunia dalam, ruang batin dan kesadaran, dari mereka yang akan menanggung dampak dari pembangunan. Dunia makna adalah semesta nilai, norma, pengetahuan, cara pandang hidup, keyakinan, dan sejenisnya, yang hidup dalam rakya calon korban. Negara dan pembangunan harus menghitung hal ini agar tidak menyusun piramida kurban manusia.
Misalnya, ketika Freeport diberikan izin menambang di Papua oleh rezim Soeharto itu, sudahkah cara pandang dan kearifan anak-anak suku sungai yang hidup berpuluh generasi di muaranya dihitung oleh pemerintah ?. Atau ketika membangun kawasan perdagangan dan jasa mengikuti tuntunan ideologi kota pantai, sudahkah “dunia makna kaum nelayan” tradisional kusam di sekitar pesisir pantai yang menanggung dampaknya diperhitungkan secara seksama ?.
Perhitungan dimaksud bukanlah kalkulasi ekonomi atau kuantifikasi korban, tetapi berusaha masuk dan menemukan gejala-gejala atau memperkirakan konsekuensi seperti rasa keterasingan diri, anomi sosial, “inferioritas kolektif”, “potensi amok sosial”, dan sejenisnya yang tidak mudah dimaknai hanya dengan membaca statistik BPS atau versi Bank Dunia misalnya.
Apakah solusinya memperbaiki metodologi AMDAL ?. Mungkin saja, namun perkara kita adalah, bukan sedikit AMDAL yang menjustifikasi peminggiran dan pemiskinan sosial.
Maka, jika kembali pada ajakan untuk “menahan rasa sakit dari Jokowi itu”, rasa sakit jenis apa yang beliau maksudkan ?. Merujuk pada Berger, kita bisa balik bertanya, sudahkah kabinet kerjanya menghitung dua jenis perhitungan ini ?. Sudahkan negara menghitung calculus of pain dan calculus of meaning dari rakyatnya ?.