Birdman, bagi saya yang awam, begitu memikat. Ia membantu untuk melihat hubungan yang tidak lurus antara apa yang ditampilkan dalam teks yang dilakonkan, tafsir atasnya, dengan dunia nyata dimana teks dan lakon itu dipersiapkan. Sebuah usaha menyatukan tiga dunia yang bukan saja tidak mudah, namun juga seringkali salah dibaca-maknai.Tak jarang, dalam dunia di balik panggung, panggung dan tontonan, terpelihara hubungan yang ironis.
Di Birdman, dikisahkan, kritikus panggung--sebagai representasi penonton yang intelek-- menangkap tindakan berdarah yang dilakukan Riggin, si tua botak yang pernah jaya lewat film Super Hero itu sebagai super realisme. Tindakan berdarah yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit dan mengalami operasi pemasangan hidung yang baru justru adalah aksi yang "revolusioner" oleh mereka yang melek ilmu pentas teater.
Sedang penonton kebanyakan, menangkap tindakan berdarah itu dalam kesedihan dan doa-doa yang bertabur bunga. Aksi berdarah itu bukan lagi drama, ia adalah tindakan berbahaya; ia bukan lagi lakon yang disengaja, ia adalah peristiwa nyata di benak penonton. Kesedihan mereka membuncah menjadi doa-doa yang bergemuruh. Padahal sebelum kejadian itu, mereka nyaris lupa pada Riggin.
Riggin sendiri, si tua botak dan hampir saja tamat dari dunia peran, pada akhirnya menyambut moment berdarah itu sebagai kelahiran kembali dirinya dalam dunia peran. Tindakannya seolah gerak shifting paradigm yang menggeser kejemuan dalam lakon mainstream. Lakon tembak hidung itu seolah klimaks dari kegetiran dirinya yang terpuruk kelam di balik panggung karena sudah tidak dianggap lagi eksistensinya oleh publik.
Pentasnya sukses, Riggin menemukan lagi energi peran, kembali menjadi milik publik, dan kritikus panggung memaknainya aksinya sebagai bakat tak disadari yang menciptakan pergeseran penting dalam seni lakon. Happy ending yang dipicu oleh kebaikan tak terduga dari ketidaktahuaan (the Unexpected Virtue of Ignorance).
Inilah hubungan yang unik, atau juga, sisi yang tidak selalu lurus antara dunia di balik panggung, dunia panggung dan dunia penonton. Atau, tentang kebetulan-kebetulan yang menjadi bermakna ?
Selain itu, Birdman juga menuntun kita untuk melihat dunia di balik panggung, di balik pentas. Sebuah dunia yang hidup diantara keseharian yang nyata para aktor/aktris dengan dunia peran  yang diminta panggung dan penonton. Dalam Birdman, kita bisa melihat pergulatan dunia itu, berikut skandal, kecemasan, pertengkaran, daya juang, dan sejenisnya yang memainkan emosi.
Di balik panggung, tidak ada hingar bingar. Hanya ada usaha manusia untuk terus hidup di antara ketegangan lakon yang dipuja dengan lakon yang dibenci penonton. Celakanya, penonton adalah mereka yang selalu pulang ketika layar diturunkan.
Mungkin karena itu, film ini mendapat penghargaan Oscar untuk film terbaik, skenario asli terbaik, serta sinematografi terbaik tahun 2015. [Link berita tentang penghargaan untuk Birdman bisa dibaca di sini ]
Salam.