Saya meyakini setiap lokasi kebudayaan memiliki cita rasa kulinernya masing-masing. Dan saya juga percaya jika cita rasa kuliner dibentuk dari perjumpaan dan pertukaran kebudayaan. Paling sedikit, perjumpaan kenangan.
***
Saya punya sedikit kisah tentang buah Cempedak. Buah sebangsa Nangka yang jika kita sekilas saja melihat pohonnya, kita menyangka itu Nangka. Saya ingat pertama kali ketemu buah ini di Papua, di Kota Serui, kota yang setiap musim buah selalu ramai. Lalu, berpuluh tahun tidak bertemu, saya menemukan lagi Cempedak di Kalimantan.
Cempedak adalah buah yang harum, bentuknya lonjong memanjang. Seperti ini:
[caption id="attachment_409633" align="aligncenter" width="600" caption="buah Cempedak/foto : dok pri"][/caption]
Di Serui dulu, saya hanya memakan daging cempedak dan bijinya. Rasanya manis, dan, baunya sangat harum. Pada musim buah, saya akan selalu mengikuti Ibu ke pasar, menunggu Bapa-Bapa dan Mama-Mama datang mengantar buah Cempedak dari pulau-pulau sekitar Kota Serui.
Tapi alam dan budaya kuliner Kalimantan memberikan saya pengalaman cita rasa yang baru. Kulit Cempedak yang biasanya dibuang, oleh budaya kuliner di sini, diolah jadi makanan yang nikmat. Cara pembuatannya sederhana saja.
Pertama, sesudah daging dan bijinya dikeluarkan, kulit bagian luarnya dikupas. Bagian kulit Cempedak yang diambil adalah bagian yang lembut. Sesudah dikupas, lalu dibilas dengan air bersih beberapa kali. Serupa ini:
[caption id="attachment_409635" align="aligncenter" width="600" caption="Cempedak yang sudah dikupas/ foto : dok.pri"]
Kedua, sesudah dikupas dan dibilas air bersih, kulit Cempedak yang putih kekuningan itu lalu ditaburi garam atau bumbu penyedap. Ini untuk meramaikan rasa pada tekstur kulit yang lembut. Rasanya jadi manis-asin. Sesudah ditabur garam, dibiarkan beberapa detik saja. Seperti ini:
[caption id="attachment_409637" align="aligncenter" width="600" caption="Kulit Cempedak yang digarami/Foto :dok.pri"]
Ketiga, selanjutnya kita tinggal memanaskan minyak goreng dan memasukkan potongan-potongan kulit cempedak yang sudah digarami tadi ke dalam. Tunggu saja beberapa saat, jangan terlalu lama, maka kulit Cempedak akan berwarna kecoklatan.
[caption id="attachment_409638" align="aligncenter" width="600" caption="Kulit Cempedak dalam penggorengan/ foto : dok.pri"]
Kelima, sesudah beberapa saat dalam wajan penggorengan dan mulai berwarna kecoklatan, kulit Cempedak sudah bisa disajikan. Hati-hati, jangan buru-buru, soalnya masih panas. Kulit ini bisa dinikmati sebagai cemilan saat santai. Tapi, umumnya di sini, digunakan sebagai lauk.
[caption id="attachment_409639" align="aligncenter" width="600" caption="Kulit Cempedak goreng siap dihajar/ foto : dok.pri"]
Demikian tata cara pembuatan kulit Cempedak goreng. Sederhana dan sebentar saja.
***
Bertemu buah Cempedak adalah perjumpaan kenangan saya akan tanah Papua, khususnya Kota Serui. Kota Serui adalah kota kecil, sering juga disebut Kota Kembang, salah satunya karena banyak turunan Perancis di sana. Iya, Perancis: Peranakan Cina Serui.
Di Kota Serui, pada musim buah, pasarnya yang terletak di tepi pantai akan selalu ramai. Kota yang kecil ini mungkin berat sebelah karena penduduknya yang tidak banyak itu semua tumpah ruah di pasar. Pasar adalah perjumpaan pedagang dan pembeli, lebih dari itu, ia merupakan perjumpaan anak-anak suku pribumi dan pendatang yang saling membutuhkan; ada kerja fungsionalisme kultural-ekonomi di sana.
Perjumpaan saya dengan Cempedak di tanah Kalimantan adalah pertemuan kenangan tentang tanah Serui-Papua dengan pengalaman baru akan bumi Kalimantan. Ketika mengunyah kulitnya, pikiran saya melayang jauh ke Serui, sebuah tempat di masa lalu ingatan yang tak lekang oleh waktu. Menyantapnya di tanah Kalimantan, menyadarkan saya akan keberadaan anak-anak suku yang bergantung hidup pada pemberian alam di sini. Jadi ketika makan kulit Cempedak goreng, saya mengalami perjalanan bolak-balik masa lalu dan masa kini.
Saya melihat kesederhanaan anak-anak suku Papua dan Kalimantan dalam pengolahan buah Cempedak. Saya gembira menjadi bagian dari mereka, hidup dalam "tradisi kuliner" yang mereka miliki dan terus di-regenerasi. Dengan pengalaman personal "psiko-kuliner" ini, saya mengalami masa lalu yang terus hidup.
Salah satu yang juga menurut saya menarik adalah cara pengawetan kulit Cempedak. Beberapa penduduk lokal mengatakan jika kulit Cempedak lebih enak jika direndam lebih lama di air garam dan dimasukkan ke dalam toples kaca. Proses penyimpanan seperti ini bisa bertahun-tahun dan kulit Cempedak tetap nikmat. Ini juga merupakan salah satu teknik proses pengawetan yang kiranya cukup tua dikembangkan masyarakat manusia.
Selain itu, kulit buah Cempedak juga bukan sebatas makanan rumahan. Tak jarang, jika pada musimnya, ia juga disajikan dalam acara-acara resmi juga. Seperti yang saya nikmati ketika mengikut pertemuan Sosialisasi Penanganan Kebakaran Lahan Gambut berbasis masyarakat, di desa Mendawai sebulan yang lalu.
Bagi saya, menikmati kulit Cempedak goreng adalah juga mempelajari bagaimana alam dan manusia berkolaborasi. Alam telah memberi dan manusia tinggal mengolahnya. Dengan fungsinya sebagai lauk tadi, bisa jadi kulit Cempedak merupakan salah satu cara masyarakat mengisi keanekaragaman kulinernya melewati musim-musim yang berubah dan kadang tidak pasti. Satu perkara yang masih mengganjal di benak saya, seperti apa kandungan manfaat di kulitnya itu.
Yang jelas, cukup dengan kulit Cempedak goreng, kita bisa memulai hari tanpa harus banyak berkeluh kesah pada musim yang susah dan harga kebutuhan pokok yang menanjak. Memulai hari dengan mengolah apa yang alam telah berikan.
Salam.
------------------
Catatan : pada postingan sebelum ini, link tentang Cempedak yang saya kutip dari Wikipedia tidak termuat dalam halaman yang sudah terpublish. Saya kutipkan lagi tanpa mengubah susbtansi tulisan.
Link itu bisa dikunjungi di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H