Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Megawati Dan Daya Tahan Kepemimpinan Kharismatik

12 April 2015   18:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:13 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa seorang Megawati bisa begitupowerful?. Atau masih merasa diripowerfulhingga dengan secara vulgar mengatakan di depan kader-kadernya : "yang tidak mau dipanggil petugas partai keluar saja!". Dan, mereka yang disindir-sindir itu mengapa juga tidak berani mendeklarasikan diri, berdiri sendiri, entah sebagai PDI-Perjuangan Pemberani atau yang semacamnya. Gegara sindiran itu, suasana penutupan Kongres PDI-P ke IV kemarin seperti kerumunan anak kecil yang dimarahi ibunya.

Usaha "melawan" Megawati di era reformasi bukan tidak ada yang melakukan. Namun, agaknya, usaha menantang Megawati dengan berdiri sendiri sebagai kekuatan politik bukan opsi yang jitu kalau bukan malah bunuh diri. Sekurang-kurangnya, Roy BB Janis (Partai Demokrasi Indonesia Pembaharuan) dan Eros Djarot (Partai Nasional Banteng Kemerdekaan) pernah memilih jalan itu dan mereka tidak berhasil. Megawati tetap seorang penentu yang utama. Tidak seperti Muhaimin Iskandar kepada Gus Dur. Gus Dur yang kharismatis dan dipandang 'setengah dewa', ternyata tidak cukup kuat menghadang Muhaimin Cs, yang bisa jadi diback-up rezim SBY kala itu.

Untuk melihat bagaimana seorang Megawati menjadipowerfuladalah dengan melihattracksejarah politiknya. Lalu menyandingkan dengan sejarah figur yang juga kharismatik dalam arena politik atau inti elit nasional.

Sekilas Perjuangan Megawati

Gus Dur dan Megawati, yang pernah menjadi pasangan presiden dan wakilnya, adalah tipikal kepemimpinan kharismatik dalam politik Indonesia. Tipe pemimpin kharismatik dalam politik lazimnya didekati massa dengan kekaguman yang luar biasa, cenderung dalam kategori yang "supramanusiawi", entah karena alasan genetis, alasan historis atau kombinasi keduanya. Walau cenderung dimaknai “supramanusiawi”, tidak berarti Gus Dur dan Megawati tidak memiliki sejarah melawan yang membuat mereka menuai simpati politik luar biasa. Sejarah melawan inilah yang turut memberi kualitas tambahan.

Megawati dan PDI-P berbeda nasib sejarah Gus Dur dengan PKB. Kharisma Gus Dur pada arena politik tidak cukup mampu menjaga kekuatan politik berbasis massa Nahdliyin tetap solid dan  bertahan sebagai salah satu kekuatan utama politik Indonesia paska Soeharto, mengimbangi Golkar dan PDI-P misalnya. PKB, sebagaimana juga PAN yang memiliki sosok kharismatik serupa Amien Rais, tetap saja partai medioker hingga pemilu terakhir, 2014.

Perlu ditambahkan, Gus Dur dan Amien Rais adalah pemikir yang menulis, Megawati relatif tidak. Pikiran atau visi Gus Dur dan Amien Rais bisa langsung diakses publik, berbeda dengan Megawati. Ternyata, walau memiliki kharismadan visi, mereka tidak lebih tangguh dari Megawati.

Tidak bisa kita pungkiri jika Megawati adalah perempuan paling tangguh dalam pertarungan politik Indonesia. Dia bukan saja dipandang paling mewarisi kharisma Soekarno (kita tahu ia memiliki saudari yang juga bergelut di politik). Ia juga merangkak dalam represi, naik  di puncak, berjibaku di garis depan, bukan sekedar mengekor rombongan laki-laki. Ia juga melawan Orde Baru, lalu menjadi Wakil Presiden, lalu Presiden, dan kini memimpin partai melewati masa-masa kompetisi yang tidak mudah. Dalam pemilu paska Soeharto, PDI-P tidak pernah terlempar dari 5 besar kontestasi. Belum tentu, tanpa Megawati, partai ini bisa terus kompetitif.

Kharisma Megawati yang dibentuk melalui konstruksi genetis-historis, suka atau tidak, adalah pergulatan takdir yang membuatnya sangatpowerfuldi rumah besar PDI-P dan tidak dimiliki oleh banyak elit politik nasional hari ini. Tak cukup di dalam PDI-P, bahkan kalau ditakartimbang dari seluruh elit politik perempuan hari ini, Megawati tiada tandingannya. Jadi, atas dasar prestasinya, mengatakan Megawati memimpin PDI-P secara murni kharismatik juga tidak terlalu pas.

Megawati Dan Daya Tahan Kepemimpinan Kharismatik

Tapi, untuk kepentingan disini, kita golongkan saja Megawati ke dalam tipe yang kharismatik.

Secara kepemimpinan politik, tipe Gus Dur sudah selesai. Figur kharismatik yang kini tersisa adalah Megawati dan Amien Rais. Mungkin Sultan Hamengkubuwono X bisa juga dimasukkan, tapi ia tidak selalu berdiri di orbit utama nasional, hanya sesekali saja muncul. Saya juga tidak memasukkan SBY sekali pun ia mantan presiden dua periode. Alasannya, pertama, sebagai perwira tentara, ia mengorbit di zaman yang sudah terbuka, dan,kedua, partainya tidak memiliki sejarah direpresi. Beda penilaiannya jika ia dari rahim sipil dan pernah melawan rezim otoriter.

Amien Rais, yang juga melawan ikut melawan orde baru, terbukti masih memiliki “taji politik” di internal PAN. Pengaruh kharismatiknya mampu membuat Hatta Rajasakeokdan Sutrisno Bachir kembali ke partai sekalipun dulu dipermalukan Amien Rais ketika hendak mendudukan Hatta Rajasa. Tapi, sekali lagi, penting diingat bawah pengaruh kharismatik Amien Rais yang juga berpendidikan doktor hanya cukup menjaga suara PAN sebagai representasi politik Muhammadiyah di level menengah.

Kini tinggalah Megawati. Ia memang sudah tidakmarketablejika dijual ke pilpres. Tapi, di internal PDIP, seolah tidak ada alternatif di luar dirinya. Seperti sudah digambarkan sebelumnya, Megawati lain sendiri. Kepemimpinannya masih sangat dominan di PDI-P. Ia menjaga PDI-P tetap menjadi kekuatan utama politik nasional, rumah besar bagi "nasionalisme-sekuler" atau Marhaenisme. Megawati seolah terang yang seperti belum akan terbenam.

Disinilah, masalah itu muncul. Atau, kalau bukan, tantangan itu muncul. Sejauhmanakah partai-partai yang berdiri di “garis ideologi” Islam pun Nasionalis menjaga tipe kepemimpinan politik kharismatik tetap survive di era digitalisasi demokrasi ?.

Bagi kaum progresif, terpilihnya Megawati adalah pematian regenerasi politik. Tapi barangkali tidak begitu membaca skenario politik PDI-P. Ini adalah era dimana politik bisa sangat berisik dan kekuatan politik mudah saling sikut secara terang benderang. Salah satu pendorongnya adalah gerak digitalisasi demokrasi yang turut membentuk rasionalitas politik publik yang mudah bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa politik seperti di sosial media. Perstiwa yang dipandang penuh kejanggalan dalam politik bisa sekejap menjadi isu utama dunia virtual.

Sementara konfigurasi kekuatan politik hari ini mudah sekali saling sikut. Salah satunya dikarenakan kualitas solidarity maker's dalam inti elit nasional makin susah ditemui. Kekuatan-kekuatan produk politik reformasi seolah partikel-partikel bebas yang saling bertumbukan dan tiba-tiba mudah sekali bersenyawa. Instabilitasnya mudah menimbulkan kegaduhan.

Sejauh ini, di hadapan kuasa Megawati, ada kehendak yang seolah mengatakan era politik yang berisik itu bukan apa-apa. Juga bukan siapa-siapa. Dan, saya rasa, di internal PDI-P, mereka jauh lebih memilih dicap “konservatif” ketimbang harus berjudi takdir dengan mengganti seorang Megawati, sang maestro solidarity maker's. Apalagi jika menengok Golkar, yang bertahan dalam tiga era kekuasaan, ternyata bisa terbelah juga.

Megawati seolah hendak membuktikan diri bahwa kepemimpinan kharismatik dalam politik nasional masih memiliki masa depan. Adalah baik memenangkan kompetisi, tapi pekerjaan paling berat seorang pemimpin politik adalah bertahan melewati turbulensi dan resiko collapse.

Entahlah.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun