Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pesan Alam Kala Melukis Dirinya

6 April 2015   15:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:28 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin siang, dalam perjalanan antar desa, saya menjumpai rombongan awan yang menggumpal secara unik. Seperti ini bentuknya :

[caption id="attachment_408080" align="aligncenter" width="623" caption="alam melukis diri_1/ Foto : dok.pri"][/caption]

Saya mengabadikan awan ini dari dalam taxi perahu, orang di sini menyebutnya kelotok.

Perkampungan yang di depan sana adalah desa Kampung Melayu. Jika kita datang dari Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, desa Kampung Melayu dapat diakses melalui terusan Hantipan. Satu terusan yang menghubungkan DAS Mentaya dan DAS Katingan dimana rata-rata memiliki waktu tempuh satu jam pada musim bukan kemarau.

Awan itu sendiri menggumpal di atas desa Kampung Melayu. Ketika mem-posting disini, saya hanya memberi sedikit efek "dramatis" dengan mengklik auto-correct pada fasilitas editing foto Microsoft. Setelah saya perhatikan, ujung gumpalannya seolah ekor hitam memanjang yang tertanam di batas desa itu. Lalu kepalanya menjulur ke arah kami, rombongan yang bergerak dengan kelotok. Seperti ular kobra raksasa. Hiii.

Sementara di kanan dan kiri, mentari terang benderang terik. Sungguh lukisan kontras alam yang menarik perhatian.

Lalu, barusan saja tadi, sesudah merampungkan diskusi kecil dengan teman-teman, saya keluar rumah dan memandang sekitar. Rombongan bekantan itu belum lagi bermain di pepohonan dekat base camp. Namun, ketika memandang ke jurusan Timur, saya melihat lukisan alam lainnya yang menarik.

[caption id="attachment_408085" align="aligncenter" width="614" caption="Alam melukis diri_2/ foto : dok.pri"]

14283075701019819706
14283075701019819706
[/caption]

Sama hal dengan foto "awan Cobra" tadi, saya juga memberi sedikit efek dramatis dengan meng-klik auto correct.

Gumpalan awan itu bertumpuk menyatu seperti hendak jatuh. Serupa bongkah-bongkah bebatuan hitam besar yang bergelantungan dan hendak dikirim langit untuk penduduk bumi. Seperti juga ada marabahaya yang dipesankannya. Seolah berkata, waspadalah anak manusia! Huuft.

Saya lalu ingat kejadian kemarin siang. Ketika ngobrol dengan beberapa tetua kampung di desa Kampung Melayu. Gegaranya adalah gerhana bulan merah darah.

"Jika gerhana seperti itu, akan ada kemarau panjang", ujar salah satu tetua kampung. "Tapi jika tanpa pendar cahaya merah, hanya hitam gelap, maka itu perlambang akan banyak penyakit", ucapnya lagi seperti mengingatkan.

Jadi gerhana adalah sebuah pesan alam akan peristiwa-peristiwa yang akan datang. Ini juga adalah sebuah cara baca yang sangat penting untuk menyusun aktifitas warga dalam satu siklus musim. Siklus menandakan peristiwa-peristiwa yang terpola dengan mana manusia mengadaptasikan aktifitas sehari-harinya disana. Mungkin seperti praktek berteori pada mula-mula dimana manusia melakukan kontemplasi, menemukan "hukum-hukum" dalam putaran kosmos, lalu melakukan praksis : menyesuaikan diri dengan hukum-hukum hasil kontemplasi tersebut.

Dalam konteks gerhana merah darah-- atau pesan akan kemarau-- maka itu memasuki musim tanam, khususnya dengan sistem berladang. Pada kemarau, ikan-ikan di danau dan sungai akan melimpah di beberapa desa yang memiliki tradisi perikanan tangkap yang turun temurun. Terlihat sekali, ketergantungan manusia pada tetapan alam. Manusia begitu ringkih dalam takdirnya.

Modernismelah yang lahir sebagai spirit yang mengunggulkan manusia sebagai penulis takdir sejarahnya sendiri kemudian menjadi kekuatan kreatif sekaligus desktruktif terhadap alam. Dalam terang modernisme yang menyembah habis pada rasio, alam menjadi  obyek bagi pemuasaan kebutuhan dan juga kuasa pengetahuan manusia melalui instrumen sains dan teknologi. Lalu, pada kondisi yang ekstrim dimana alam mulai menentang kendali rasio melalui sains dan teknologi dalam wujud bencana-bencana dahsyat, manusia mulai merenungkan resiko dan kemungkinan peradabannya menjadi collapse.

Di sini, di tempat saya masih mendengar cara pandang tradisional atas gerhana dan musim, kemenangan modernisme barangkali tidak terlalu gagah jumawa. Tapi tetap saja ada resiko yang terus dikalkulasi sepanjang musim. Kemarau panjang di Kalimantan Tengah terlanjur identik dengan kebakaran lahan gambut. Setahun lalu, saya pernah dikepung asap yang demikian pekat. Sesak di dada dan jarak panjang tidak lebih dari sepuluh meter. Saya juga melihat rombongan anak-anak PAUD yang murung karena dipulangkan terlalu cepat oleh kabut asap yang sedemikian pekat.

Saya tidak terlalu tahu prediksi cuaca versi lembaga resmi untuk tahun ini. Juga belum pernah membaca laporan yang menjelaskan kontributor terbesar pada kebakaran lahan gambut disini berasal dari pihak mana. Yang kiranya jelas adalah, jika skema antisipasi pemerintah tidak cukup kuat, maka sebentar lagi televisi akan ramai dengan berita asap.

Andai bacaan tetua kampung terhadap gerhana merah darah akurat dan pada saat bersamaan skema antisipasi pemerintah terhadap potensi kebakaran lahan gambut tak cukup efektif, maka pada kemarau nanti, saya harus menyiapkan lensa pandang lain untuk melihat bagaimana alam dibakar dirinya.

Semoga saja tidak.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun