Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kisah Sedih Desa Tepi Sungai

20 Maret 2015   20:01 Diperbarui: 9 Mei 2019   10:57 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perahu kecil yang membawa saya baru saja merapat di jembatan papan. Kala itu, senja belum lagi merah. 

Di sebelah jembatan, taksi perahu itu sudah ditambatkan. 

"Rusak lagikah mesinnya?" tanya saja lekas-lekas. 

"Gak, baru saja pulang," jawab si supir taksi perahu. 

Tumben, biasanya dia baru tiba di kampung pada malam hari, paling cepat pukul 19.00 WIB. Ada apa? 

Saya berjalan meniti jembatan. Ada kerumunan orang di depan sana, mereka sedang duduk menikmati sore yang lambat. Apalagi sebentar malam akan mengalami giliran pemadaman listrik PLN, buat apa cepat-cepat pulang ke rumah. 

"Kenapa sudah pulang? Cepat sekali," tanya saya masih penasaran pada seorang kawan lain yang juga supir taksi sungai. 

Mereka berdua sering bergantian pergi-pulang membawa taksi ke hulu sungai. Rata-rata 7-8 jam sekali bertolak ke hulu sana. Tak jarang, mereka menginap dulu di hulu menunggu penumpang. Maklumlah, sekali berangkat, paling sedikit duit satu juta rupiah sudah pasti keluar untuk beli BBM. 

"Ada keluarganya yang meninggal, makanya lekas pulang," jawab kawan yang satu ini. 

"Yang mana?" tanya saya lagi. 

"Kemarin pagi, meninggal di puskemas, dibawa dari kampungnya sana. Sakitnya bikin perempuan itu tidak bisa minum air," terang kawan ini. 

"Oh, yang kemarin diantar pake ces (perahu kecil-red) itukah?" kejar saya lagi. 

"Iya, tahulah?" gantian dia balik bertanya. 

"Innalillahiiii. Saya tahu, saya sempat mengangkat tandunya di dermaga sehari sebelumnya," jawab saya pelan. Saya diam, menatap kosong ke ujung sungai. 

"Saya pulang dulu," pamit saya entah kepada siapa. 

*** 

Saya ingat betul perempuan yang meninggal kemarin pagi itu. 

Sehari sebelumnya, saya makan siang di tepi sungai yang menghadap dermaga desa. Lalu datang sebuah perahu, biasa disebut ces, ke dermaga. Ces itu dibuat memiliki atap. Ada anak-anak juga yang ikut selain dua pria dewasa dan dua perempuan. Salah satunya, perempuan yang sakit itu. 

Matahari di langit garis khatulistiwa sungguh terik siang itu. Sebentar lagi kemarau menjelang. Saya masih makan sambil ngobrol dengan seorang penduduk desa. 

"Kayaknya orang melahirkan," kata teman ngobrol ini. "Oh, iyalah," jawab saya pendek sambil mengunyah. 

Tak lama berselang dari kedatangan ces itu, datang dua orang pria berseragam coklat. Mereka mungkin petugas puskesmas membawa tandu. Sudah payah sekali rupanya perempuan yang sakit itu, ucap saya dalam hati. Sekitar lima menit, belum juga perempuan itu dipindah dari perahunya. Lalu tandu didekatkan ke badan perahu. Dua petugas dan dua pria dewasa di perahu mengangkat tubuh perempuan yang lumayan besar. 

Saya lalu bergegas, ikut serta. Ketika tiba di dermaga, tubuh perempuan yang sakit telah pindah ke atas tandu.

Perempuan yang Sakit dipindah ke tandu| Foto: Dok. Pribadi
Perempuan yang Sakit dipindah ke tandu| Foto: Dok. Pribadi
Saya sempat memegang salah satu tandu bagian belakang. Ketika hendak diangkat, tandu tidak bergerak naik. Rupa-rupanya ada tali pengikat yang tertahan di antara sela-sela papan. Saya ikut membuka tali, buru-buru, karena terik mentari benar-benar menikam kepala. Tali itu lalu terlepas, tandu diangkat meniti jembatan yang menyambungkan dengan jalan utama desa. 

Saya diam, tidak ikut naik ke jalan. Mendadak kaku seperti patung. Saya ingat setahun yang lalu. 

*** 

Setahun lalu. Saya hendak berangkat ke hulu desa, sekedar mencari sinyal dan listrik. Hampir sebulan saya belum keluar dari desa ini. Maka berangkatlah saya pagi-pagi ikut taksi perahu yang datang dari hilir. 07.00 WIB. Perahu berangkat. Sekitar 45 menit perjalanan, tibalah di desa tetangga. 

Tiba-tiba, kursi perahu yang biasanya diduduki dua orang, dibuka 4 deretnya. Jadi, jatah 8 penumpang dihilangkan. Ada apakah? 

Ada orang sakit. Persisnya ada seorang nenek yang sakit. Taksi sungai ini merapat di batang kayu yang dibikin jadi tempat tambatan, di mana juga berdiri kakus di atasnya. Lalu dari desa, turun serombongan orang, banyak kaum perempuan. Beberapa menangis tersedu-sedu. Seorang di antara mereka memegang setangkai daun, lalu mengibas-ngibasnya di tubuh si nenek, seperti hendak mengusir roh jahat. 

Nenek itu sudah kurus sekali. Dan pucat sekali. tubuhnya seperti mengecil. 

Saya melihatnya dari perahu, saya cuma bisa diam lalu membuang tatap jauh-jauh. Dalam pikiran saya, jika nenek itu ibu saya? 

Anak menantu nenek itu duduk di samping saya. "Mau dibawa ke mana neneknya, Bang?" tanya saya segera. 

"Ke kabupaten, dirawat di sana saja," jawabnya. Lalu kami saling diam. Entah apa yang dipikirkan. 

Pikiran saya masih sama: jika nenek itu ibu saya? Saya tidak tahu lagi kabar si nenek. Apakah dengan dibawa ke kabupaten, ia sembuh atau tidak. 

***

 

14268562351186364453
14268562351186364453
Di desa-desa yang terletak di tepian sungai ini, saya banyak menemukan peristiwa-peristiwa yang bikin miris kalau bukan malah menangis. 

Beberapa saya ceritakan, beberapa lagi saya simpan. Penduduknya banyak hidup dari perikanan tangkap, ada juga yang berburu di hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Semua pekerjaan itu sering tak cukup untuk hidup sehari-hari. 

Di desa-desa tepian sungai ini, kecuali ibu kota kecamatan dan desa yang dekat dari situ, listrik tak ada, air bersih tak punya. Fasilitas pendidikan terbatas, fasilitas kesehatan sama adanya. Tak ada jalan darat, semua lewat sungai. Keluar-masuk desa melalui sungai membutuhkan biaya yang tidak sedikit, khususnya untuk membeli BBM. 

Nenek yang sakit dan perempuan yang baru meninggal kemarin pagi itu adalah contoh bagaimana susahnya penduduk desa tepian sungai mendapatkan fasilitas kesehatan yang siap siaga di desanya. Hanya ada puskesmas pembantu, dalam kondisi darurat, tenaga medisnya sering tak berdaya. 

Orang yang sakit harus segera dikirim ke kecamatan. Tapi itu jika ada ces dan bensin. Taksi perahu tidak lewat setiap hari. 

Bagaimana jika kondisi darurat terjadi malam hari? Ketika memikirkan ini, seperti mengalami jalan buntu bernegara saja. 

Berpuluh tahun bernegara, masih banyak desa yang hidup dalam ketakberdayaan yang menyakitkan. Seolah-olah hidup mereka hanya untuk bertahan day-to-day, bukan untuk mengembangkan harap dan pendakian cita-cita yang lebih tinggi. Sementara kota-kota terus tumbuh mencakar angkasa. 

Orang-orang sibuk mengejar materi seolah hidup akan berakhir hari itu juga. Konsumerisme menyeruak hingga ke gang-gang yang sesak dan akrab bau comberan. Kampus-kampus megah dibangun. Gedung-gedung perkantoran dipugar. Megah lagi gagah. Negara seolah menyediakan apa saja di kota-kota. 

Kini, ada harapan, UU Desa produk reformasi benar-benar menciptakan perubahan kebijakan yang nyata dan berdampak positif untuk melindungi masyarakat desa tepian sungai dari ketidakberdayaan karena keterbatasan fasilitas. 

Gelontoran dana yang besar harus menciptakan transformasi sosial yang menyejahterakan dan memandirikan desa-desa. Tegas kata, UU Desa yang baru benar-benar membuat negara hadir dan membangun tanpa menyakiti. Salam. 

[Mendawai, Katingan: Akhir Maret 2015]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun